Author Archives: komunitaskotatoeamagelang

About komunitaskotatoeamagelang

Komunitas ini merupakan kumpulan sekelompok masyarakat yang peduli keberadaan peninggalan sejarah yang ada di wilayah Magelang dan Sekitarnya. Nilai sejarah dan arsitektur yang menyimpan nilai luhur merupakan sesuatu yang bukan hanya dikenal namun tetap perlu dilestarikan... Semangat inilah yang akan terus dipunyai oleh komunitas ini

KISAH NYATA : KARENA PERANG, 40 TAHUN AKU BERPISAH DENGAN ADIKKU

Standard

Foto Bagus Priyana.
Perkenalkan namaku Yvone Sonja ten Hoor-Heintz, aku biasa di panggil dengan nama Yvone atau Oma Yvone (dibaca ‘Ivon’). Aku tinggal di kota Roterdam dan menjadi warga negara Belanda. Meski demikian, aku lahir di sebuah kampung kecil di Glagah, Banjarnegoro Mertoyudan Kab. Magelang pada 26 Oktober 1935, kini usiaku 82 tahun.
Papaku bernama Karel Otto Heintz yang berdarah campuran antara Jerman (kakekku) dan Swiss (nenekku). Yang ku tahu nama kakekku Carl Heintz dan nenekku bernama Kristin.
Mamaku bernama Murni, orang Jawa dan asli dari Glagah. Adikku 2 orang, semuanya wanita. Yang nomer 2 bernama Joyce Sylvia Heintz dan yang ke 3 bernama Yulia Christine Heintz. Joyce lahir pada tahun 1938, panggilan akrabnyavadalah “Ribut” karena tingkah lakunya yang selalu bikin ribut sekitarnya. Adikku yang bungsu bernama Yulia lahir pada tahun 1940 dan biasa dipanggil dengan “Jembrok” karena model rambutnya yang ‘njegrak’. Bisa dikatakan aku dan adik-adikku adalah warga Indo karena berdarah campuran antara Eropa dan Jawa.
Mamaku seorang pedagang hasil bumi. Sedangkan papaku seorang suplyer (pemasok) ketela pohon untuk pabrik tepung tapioka/pati di Borobudur.
Saat ini (Januari 2018) aku sedang berkunjung ke Magelang dengan di temani oleh Franky Heintz, adik tiriku (1 ayah, beda ibu).
Kunjunganku ke Magelang adalah untuk bersilaturahmi dengan adik-adikku. Kunjunganku kali ini adalah yang ke 8 kalinya. Kunjungan pertama pada tahun 1988, di susul dengan kunjungan berikutnya di tahun 1989, 1990, 1991, 1992, 1995 hingga yang terakhir kali pada tahun 1998.
Jangan di tanya, bagaimana perasaanku saat kembali di tanah kelahiranku. Dan jangan di tanya pula saat aku bertemu dengan adik-adikku tercinta.
Sungguh bahagia sekali hatiku saat kembali menginjakkan kakiku di Magelang ini. Kota yang telah mengukir jiwa ragaku. Kota yang menjadi belahan jiwaku ini. Jika di tanya soal masa kecilku, mataku bisa basah karena terharu. Karena di kota inilah perjalanan hidupku begitu berwarna.

MASA KECILKU
Aku tidak tahu sejak umur berapa aku di asuh oleh omaku (nenek) , yang aku dengar sejak usia 6 bulan hingga 7 tahun. Omaku tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan), masuk wilayah Kel. Magelang Kota Magelang. Tujuan di asuhpun aku juga tidak tahu sama sekali. Yang masih ku ingat aku ini anak perempuan yang bandel saat kecil dulu.
Pernah aku berjalan kaki dari Botton ke Glagah karena aku di marahi opa atau oma. Dan saat itu umurku baru 5 tahun!
Coba bayangkan, seorang anak perempuan berumur 5 tahun berjalan seorang diri berjalan kaki sejauh 7 km.
Aku masih ingat, dalam perjalanan itu aku melewati jalan yang sepi. Di kanan kiri jalan masih banyak Pohon Kenari & Asem. Jika aku haus atau lapar, aku memunguti buah Asem yang berjatuhan dibawahnya. Terutama di ruas Bajemanweg (Jalan Bayeman, kini Jalan Tentara Pelajar). Jika ada Kenari yang kudapat, ku mencari batu untuk memecahkannya. Cukuplah untuk sekadar teman jalanku.
Saat itu sekitar tahun 1940, kondisi jalan masih sepi, tidak banyak kendaraan bermotor yang lewat. Jika kebetulan, ku berpapasan dengan 1 atau 2 kendaraan saja yang lewat. Yang bikin merinding jika melewati Pemakaman Giriloyo. Kadang aku berlari kecil karena takut.
Tidak hanya sekali aku berjalan kaki, tapi berkali-kali. Sampai-sampai opa oma maupun mama papaku mencariku. Entahlah, di usiaku yang sudah senja inipun kadang tertawa dan tidak mengerti jika mengingat kenakalan di masa kecilku dulu.

MASA MENYEDIHKAN
Keadaan menjadi berubah kala Perang Dunia 2 meletus. Saat itu tahun 1942 menjelang 1943, umurku masih 7 tahun. Kondisi Kota Magelang begitu gawat. Jepang masuk Magelang dan menawan orang-orang Belanda dan keluarganya (di internir), termasuk papaku.
Sedikit beruntung pada diriku. Oleh para pemuda kampung, Aku dan mamaku yang saat itu ada di Botton Nambangan di bawa dan dikumpulkan di rumah pak Lurah di Kampung Tulung, utara kampungku.
Aku masih ingat saat itu kami berjalan tergesa-gesa menuruni tangga dan menyeberangi Kali Bening menuju rumah pak Lurah yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku.
Baru ku tahu, ternyata tidak hanya kami ada di rumah pak Lurah tetapi para pemuda kampung mengumpulkan kami karena kami warga Indo.
Yang menyedihkan adalah nasib papaku. Suatu hari tentara Jepang datang kepadanya dengan membawa sepucuk surat penangkapan atas nama Heintz. Papaku di bawa Jepang ke garnisun (Kompleks Rindam kini).
Papaku di tawan karena termasuk warga Indo dan berkulit putih.
Lain waktu, ku dengar papaku dan tawanan lain dipindahkan ke kompleks van der Steur di Meteseh. Aku tidak tahu, apakah ayahku mengalami siksaan dari Jepang atau tidak.
Masa-masa di era 1942-1945 merupakan masa yang teramat pahit dan sulit, khususnya untuk keluargaku. Kami harus berpisah dengan papa kami.
Kehidupan keluarga kami dimulai lagi dari awal. Bahkan untuk tempat tinggalpun, kami terpaksa harus berpindah-pindah rumah. Pernah kami tinggal di Kampung Juritan, dibelakang Pecinan. Pernah juga berpindah di Blabak, dekat dengan pemandian Mudal (dekat eks Pabrik Kertas Blabak). Aku masih ingat rumahku punya halaman yang luas. Bahkan dari beranda rumah bisa melihat Gunung Merbabu dan Merapi.
Pernah juga kami tinggal di sebuah rumah di Tidarweg (kini Jalan Tidar). Dari rumahku bisa melihat Bukit Tidar yang gundul, beda dengan kondisi sekarang yang hijau.
Pernah saat ke Magelang, aku berusaha mencari dan menengok rumahku dulu di Juritan dan Blabak. Aku sedih karena kondisinya sudah berubah.
Masa-masa sulit rupanya belum berlalu. Kondisi pasca 1945 setelah Proklamasi Republik Indonesia rupanya belum sepenuhnya aman dan membuat nyaman.
Belanda masih ingin menguasai negeri ini.
Di tahun 1948, Belanda berusaha mengamankan dan menyelamatkan warganya. Saat itu kami diberi 2 pilihan, apakah akan ikut Belanda atau Indonesia.
Pilihan ini benar-benar sulit bagi keluarga kami. Bagaimana tidak sulit, keluarga kami adalah perpaduan 2 budaya dan 2 bangsa. Papaku Eropa, sedangkan mamaku Jawa. Kami bertiga, anak-anaknya tidak bisa menentukan nasib kami sendiri. Terlebih saat itu kami masih kecil, umurku baru 13 tahun, adikku 10 dan 8 tahun.
Sungguh, benar-benar sulit.
Pada akhirnya keluarga kami harus mengambil sebuah keputusan, yang tentu teramat berat buat kami.
Keputusan itu adalah keluarga kami akan kembali ke Belanda. Sebuah keputusan yang sulit.
Tapi rupanya mamaku lebih memilih tetap tinggal di Glagah. Mama ingin tetap tinggal di Magelang, mengingat ayah ibunya (kakek nenekku) tinggal di Glagah. Terlebih mamaku juga tidak ingin meninggalkan tanah kelahirannya.
Papaku akhirnya membawaku ke Belanda, sedangkan kedua adikku di asuh oleh mamaku.
Sedih rasanya kami harus berpisah dengan orang-orang yang kami cintai. Semua ini terjadi karena kondisi saat itu yang tidak memungkinkan kami untuk tetap bersama.
Saat itu tahun 1948, sebuah peristiwa penting dalam sejarah hidupku, berpisah dengan mama dan 2 adikku. Saat itu umurku 13 tahun, dimana di umur itu aku masih membutuhkan kasih sayang dari mamaku. Terlebih aku juga punya 2 adik perempuan yang ku cintai.
Sedih sekali rasanya.
Aku dan omaku meninggalkan Magelang bersama rombongan keluarga yang lain berjalan kaki dari komplek van der Steur menuju Stasiun Magelang Kota (kini sub Terminal Kebonpolo). Papaku sendiri sudah dipulangkan lebih awal ke Belanda karena warga yang kena internir Jepang didahulukan.
Dari stasiun tersebut kami naik kereta api menuju Solo. Dari Solo kami naik pesawat terbang menuju Semarang. Dari Semarang naik kapal laut menuju Batavia. Di Batavia kaki di tampung sementara waktu di Cililitan sambil menunggu pemberangkatan. Sesudah waktu yang sudah ditetapkan, kami bergabung dengan rombongan lain untuk berangkat menuju Belanda.
Magelang ku tinggalkan, kota kelahiranku yang penuh dengan kenangan yang takkan pernah ku lupakan seumur hidupku.
Aku menangis sepanjang perjalanan. Selama 3 minggu perjalanan menuju ke Belanda. Setiap hari selama di kapal, tak henti-hentinya aku menangis. Setiap awal hari hingga senja datang, ku selalu menatap lautan lepas. Wajah mama dan adikku selalui membayangiku. Omaku cuma bisa memelukku dan meredakan tangisku.

MEMULAI KEHIDUPAN DI BELANDA
Sesudah 3 minggu perjalanan, tibalah kapal yang kami tumpangi di Belanda. Aku turun dari kapal dengan omaku. Ternyata papaku sudah menungguku di dermaga. Meledaklah tangisku di pelukannya.
Kehidupan di Roterdam Belanda tidak semudah yang ku bayangkan. Terlebih saat itu usiaku baru 13 tahun (tahun 1948), dimana di saat itu aku madih membutuhkan kasih sayang dari seorang mama. Sebuah tempat yang teramat asing bagiku. Budayanya juga teramat berbeda dengan di Magelang. Akupun harus menyesuaikan diri agar tetap bisa hidup.
Aku harus melanjutkan masa depanku. Papaku membesarkanku. Papaku menikah lagi dengan seorang wanita Belanda. Salah seorang adik tiriku bernama Franky yang kini menemaniku berkunjung di Magelang.
Saat mulai beranjak dewasa, aku juga berubah. Sebagai seorang wanita, akupun juga mempercantik diri. Sebagai wanita Indo, akupun juga bersolek. Banyak orang bilang aku mirip dengan artis populer di jaman itu, Faradiba.
Aku juga menikah dengan orang Belanda yang bernama Lucky. Lucky ini juga seorang Indo, dia lahir di Semarang. Meninggalkan Semarang saat berusia 21 tahun. Tambah bahagia lagi dengan kehadiran anak-anak kami. Suamiku ini bekerja membuka bengkel mobil.
Akupun juga bekerja, salah satunya menjadi sopir bis. 😊
Selama kami tinggal di Belanda, kami (aku dan papaku) terputus hubungan dengan mama dan adikku di Magelang.
Sungguh, aku kangen dengan mereka. Akupun tidak tahu, apakah masih bisa bertemu dengan mereka?
Apakah mereka masih hidup?
Apakah aku masih dikaruniai umur panjang hingga aku bisa kembali ke Magelang?
Jarak yang jauh dan terputusnya hubungan membuat kami pesimis.

Foto Anton Widodo.

Papaku dan mamaku yang menggendong adikku [belakang], aku jongkok di depan bersama suamiku Lucky

PERTEMUAN TAK SENGAJA
Tahun berganti tahun. Aku semakin betah hidup bersama keluargaku di Roterdam. Di Belanda memang masih banyak keluarga Indo yang hidup di sini. Sehingga jika aku kangen dengan tanah kelahiranku, aku menemui kawan-kawanku.
Hingga tak ku sangka-sangka di Roterdam ini aku berkenalan dengan seorang laki-laki Belanda keturunan Ambon yang ternyata beristri orang Magelang!
Dan perempuan istrinya ini berasal dari Kampung Paten Jurang!
Oh my God, mimpi apa aku ini. Sebuah harapan untuk mencari keluargaku ku dapatkan!
Aku pun menceritakan kisah hidupku padanya, dari masa kecilku hingga aku hidup di Roterdam ini. Aku juga bertanya padanya tentang kota kelahiranku, Magelang.
Kami meminta bantuan perempuan istri orang keturunan Ambon tersebut untuk mencari tahu tentang keluargaku di Glagah, Banjarnegoro.
Perempuan tersebut menghubungi keluarganya di Magelang untuk membantuku.
Proses pencarian adik-adikku memang tidak mudah. Terlebih mamaku (Murni) sudah meninggal sejak tahun 1961, informasi ini ku dapat saat proses pencarian ini. Di Glagah ku dapatkan informasi jika kedua adikku Joyce dan Yulia ternyata masih hidup.
Dari informasi keluarga di Glagah, adikku Yulia tinggal di Kampung Losmenan. Sedangkan Joyce tinggal di Blondo.
Gembira rasanya hatiku, bahagia tiada terkira.
Ingin rasanya aku terbang segera ke Magelang. Tapi tentu saja butuh persiapan dan beaya yang besar. Kejadian ini sekitar tahun 1988.
Ah mimpi apa aku ini?

BERTEMU DENGAN ADIKKU
Sekitar tahun 1988-1989 (saya lupa pastinya), aku dan suamiku (Lucky) berkunjung ke Magelang. Tentu saja ditemani oleh kenalanku orang Magelang yang tinggal Roterdam tsb. Perjalanan panjang dengan pesawat terbang dari Belanda ke Jakarta begitu terasa lama. Meski lelah tetapi perasaan bahagia mampu menutupi kelelahanku. Bagaimana tidak, aku akan bertemu dengan adik-adikku yang sudah berpisah selama 40 tahun (1948-1988).
Di aturlah pertemuan kami. Bukan di rumah Joyce di Glagah atau di rumah Yulia di Losmenan, tetapi di rumah kerabat kami yang kebetulan tinggal di Paten Jurang. Rumahnya persis di depan rumah perempuan kenalan kami di Roterdam.
Ketika proses pertemuan itu, aku tidak langsung bertemu dengan kedua adikku. Rupanya mereka berdua ada di dalam kamar dan “mengintai” diriku dari dalam. Mereka ingin memastikan jika aku ini benar-benar kakak kandungnya.
Setelah mereka memastikan jika aku ini adalah kakak kandungnya, keluarlah mereka dari dalam kamar. Kemudian antara aku dan kedua adikku (Joyce dan Yulia) saling menatap seakan-akan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Aku berusaha menatap wajah mereka dengan baik. Benarkah mereka adik-adikku?
Ku tatap mata mereka. Ku pandangi wajah mereka. Hati dan perasaan kamilah yang menjawabnya. Tidak ada kata yang terucap.

Foto Anton Widodo.

aku dengan adikku Julia dan Franky
Kami bertiga saling berangkulan dan menangis haru. Air mata kami tiada terbendung, membasahi pipi kami. Suasana saat itu begitu sangat mengharukan.
Bagaimana tidak, kami berpisah selama 40 tahun di saat kami anak-anak (13, 10 & 8 tahun). Sedangkan saat pertemuan itu usia kami 53, 50 & 48 tahun. Perpisahan kami pun juga terasa pahit karena situasi yang memaksa kami harus berpisah.
Sesudah suasana mereda, kamipun menceritakan perjalanan hidup masing-masing. Aku menceritakan tentang papa dan keluargaku di Roterdam. Sedangkan adikku menceritakan tentang mama murni dan keluarga masing-masing di Magelang.
Adikku menceritakan jika sesudah papa pergi ke Belanda, Mama Murni menikah lagi. Mama Murni sudah meninggal di tahun 1961. Salah satu putra Mama Murni dengan pernikahan keduanya bernama Pak Diyuk tinggal di Glagah, usianya kini 70 tahun.
Jika mengingat masa-masa dulu aku jadi ingat masa kecilku dengan adik-adikku. Termasuk kenakalanku.
Pertemuan bersejarah ini tidak mampu kulupakan seumur hidupku. Bagaimanapun juga Tuhan yang mengatur semuanya. Meski aku tidak pernah bermimpi untuk bisa bertemu lagi dengan adik-adikku.

Foto Bagus Priyana.

Dengan adikku Yulia yang tinggal di Kampung Losmenan Kota Magelang

MAGELANG KOTAKU
Kini di tahun 2018 aku berkunjung lagi ke Magelang, menemui adik-adikku dan keponakanku. Sungguh bahagia lagi bisa bertemu dengan mereka untuk yang ke 7 kali. Tapi aku juga sedih karena adikku yang ke 2 (Joyce) sudah meninggal beberapa tahun yang lalu.
Di foto bawah ini aku berdiri di apit oleh adikku Yulia (deretan depan nomer 1 dari kanan), adik tiriku di Belanda Franky (deretan depan nomer 1 dari kiri). Di belakang berbaju merah adalah keponakanku Robert Prayogo (anaknya Yulia). Di deretan belakang tengah berbaju hitam adalah menantu (almh) Joyce dan sebelah pojok kanan belakang bertopi adalah Bagus Priyana.
Ku sadari bahwa semuanya sudah menjadi suratan takdir dari-Nya.
Tapi aku masih bisa bersyukur di usiaku yang ke 83 ini masih diberi kesehatan sehingga aku masih bisa kembali ke Magelang. Sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini, aku ingin menelusuri jejak rumahku dulu di Botton Nambangan.
Aku sadari bahwa Magelang tidak akan mungkin ku lupakan meski aku kini telah menjadi warga negara Belanda.
Memang aku warga negara Belanda, akan tetapi jiwaku dan cintaku tetaplah untuk Magelang.
Terima kasih untuk semua pembaca cerita hidupku ini. Terima kasih untuk Bagus Priyana yang sudah menulis kisah hidupku.
Terima kasih untuk KOTA TOEA MAGELANG.
Terima buat Candra Yoga dari Magelang Ekspress, Ika dari kompas.com.
Semoga kita bisa bertemu kembali di lain hari.
God Bless You.
I love you Magelang
(Tamat)

AKU KEMBALI KE RUMAHKU SETELAH 76 TAHUN BERLALU

Standard
Kawan-kawan KOTA TOEA MAGELANG masih ingat denganku?
Iya aku Ivone Heintz, yang saat ini berada di Magelang. Aku kini tinggal di Roterdam, warga negara Belanda yang lahir di Magelang 83 tahun yang lalu. Cerita tentang hidupku sudah ku ceritakan di minggu lalu di grup ini. Semoga apa yang aku ceritakan bisa menjadi cerita menarik dari sebuah romantika kehidupanku ini.
Rabu siang ini (24/1) aku bersama Franky Heintz (adik tiriku), Robert Prayogo (keponakan, anak dari adik perempuanku, tinggal di Losmenan) dan di temani oleh Bagus berupaya mencari rumah yang dulu pernah menjadi tempat tinggalku di Botton 3 (Botton Nambangan). Dulu di rumah ini aku di asuh oleh omaku (nenek) yang bernama Catrien Heintz saat aku berumur 6 bulan hingga 7 tahun sampai tahun 1942, saat Jepang masuk ke Magelang.

Foto Bagus Priyana.

Aku dengan Franky yang menemaniku mencari rumahku di Kampung Botton Nambangan, Kota Magelang
Aku tiba di depan SMPN 1, rupanya Bagus sudah menungguku di depan gang Botton Nambangan yang kini bernama Jl. Merpati.
Suasana mendung menggelayuti langit Magelang. Terus terang hatiku merasa tidak karuan, jantungku pun terasa lebih kencang berdebar. Bagaimana tidak, saat ini aku akan mencari rumahku dulu, yang pernah ku tinggali 76 tahun yang lalu.
Aku menelusuri gang kecil yang lebarnya cuma selebar mobil saja. Aku tidak begitu ingat lagi dengan kondisi gang kecil ini.

Foto Bagus Priyana.

Foto Bagus Priyana.
Deretan rumah berjajar di sepanjang jalan, tidak mampu menggugah ingatanku meski ada 1 atau 2 rumah masih terlihat keasliannya.
Bagus memberi informasi jika dulu di kampung ini banyak orang Indo yang tinggal di sini. Sehingga adakalanya ada orang keturunan Indo yang berkunjung di kampung ini.
Ah, rupanya daya memoriku kurang begitu baik untuk mengingat masa kecilku dulu. Benar-benar mampet.
Harapanku, sebelum aku kembali ke Belanda 31 Januari mendatang, aku sudah bisa menemukan rumahku dulu.

Foto Bagus Priyana.

Aku berada di simpang jalan Kampung Botton Nambangan

PENCARIAN DI KAMPUNG BOTTON
Untuk mencari rumahku yang dulu rupanya memang tidak mudah. Bukan hanya karena kondisi dulu dengan kini sudah berubah banyak, akan tetapi juga daya ingatku juga sudah menurun.

Foto Bagus Priyana.
Bagus mengajakku ke rumah Oma Mary di bilangan pojok Botton Nambangan. Oma Mary berusia 86 tahun, ayahnya seorang tentara KNIL bermarga Hinihulu. Yang mana Hinihulu ini berasal dari Flores, tetapi Oma Mary sendiri lahir di Magelang.
Saya senang bisa bertemu dengan Oma Mary, apalagi daya ingatnya juga masih baik meski ada beberapa hal yang lupa. Wajar saja karena usianya sudah lanjut
Dengan dibantu oleh keponakannya yang bernama Rita, proses komunikasi berjalan. Aku bercerita tentang hidupku yang dulu pernah tinggal di Botton Nambangan di tahun 1935 hingga 1942.

Foto Bagus Priyana.

Menemui Oma Martha [tengah] yang didampingi oleh Rita [anak Oma Marry, kanan]
Ku coba menanyakan, apakah Oma Mary ingat dengan omaku yang bernama Cristhine Heintz.
Mary mengatakan padaku jika di Botton Nambangan ini lebih banyak orang dari daerah Flores dan Timor yang dulu tinggal. Jika orang Ambon lebih banyak tinggal di Wates, sedangkan orang Menado di Ngentak.
Aku mengatakan tentang silsilah keluarga ku padanya bahwa papaku berdarah orang Eropa dan mamaku asli berdarah Jawa dan dulu tinggal di Glagah, Banjarnegoro.
Mary mengatakan sekali lagi jika tetangga nya lebih banyak orang yang berasal dari Indonesia Timur khususnya Flores dan Timor. Ku sampaikan ke Mary bahwa rumahku dulu dekat tangga yang bawahnya terdapat sebuah sungai kecil.
Haduh… Rupanya informasi dari Mary belum sepenuhnya memuaskan ku.
Mary mencoba menenangkanku agar aku berkunjung ke Oma Martha di Botton Tengah. Katanya, Oma Martha berusia sepantaran dia dan sejak lahir tinggal di Botton. Barangkali Oma Martha bisa membantu proses pencarian rumahku, begitu kata Oma Mary.

BERTEMU OMA MARTHA
Rumah Oma Martha tidak begitu jauh dari rumah Tante Mary, kira-kira berjalan 10 menit. Selama perjalanan, aku berusaha membuka memoriku tentang kampungku yang pernah ku tinggalkan 76 tahun yang lalu.
Di pojok dekat sungai kecil masih ku lihat 2 rumah lama, di sebelah dan depannya sudah bangunan baru. Yang aku ingat ada susunan tangga menurun menuju sungai (Kali Bening) di bawah. Tapi sayangnya tangga itu sudah hilang berganti dengan jalan beraspal.

Foto Bagus Priyana.

Berfoto bersama dengan Oma Martha [tengah] dan adikku Franky [kanan]
Rumah Oma Martha berada tepat di selatan Ambonsche School (kini SMPN 4), melewati sebuah gang sempit sekali. Jika berjalan berpapasan, salah seorang harus ada yang mengalah.
Rumah Oma Martha sangat asri, deretan bunga dan tanaman hias menyapa di halaman depan. Bangunannya pun juga terkesan nyaman meski berada di gang sempit.
Oma Martha bermarga/fam Sengkei, asli dari Manado tetapi lahir di Magelang tahun 1929. Suaminya bermarga Gozal. Rambut Oma Martha tampak memutih pendek, sama putihnya dengan rambutku.
Di rumah yang di tinggalinya kini merupakan rumah dari masa kecilnya hingga beranjak senja kini.
Saat bertemu dengannya, kami berbicara dengan bahasa Belanda. Wow, Oma Martha masih fasih berbicara dengan bahasa Wolanda. Rupanya Oma Martha ini dulu sekolah di Ambonsche School dari usia 6 tahun hingga 13 tahun (1935-1942) yang mana di sekolah ini memakai bahasa pengantar untuk pelajaran sekolah adalah Bahasa Belanda. Ambonsche School ini kini menjadi SMPN 4 yang terletak cuma beberapa puluh meter ke arah utara dari rumahnya.
Sungguh senang rasanya hatiku berkenalan dengannya. Di usianya yang sudah 89 tahun tampak bugar dengan memori yang masih terjaga dengan baik.
Saya ceritakan kisah hidupku dimana di masa kecilku dulu tinggal di Botton 3 (Botton Nambangan). Dimana rumahku dulu ini bertetangga dengan Porteer, Boshard, Huwaij dan Groen.
Nah Groen inilah yang memiliki rumah yang ku tinggali dulu.

Oma Martha mencoba mencerna apa yang aku ceritakan dan mencoba mengingat-ingat beberapa nama yang aku sampaikan tadi. Oma Martha membenarkan jika gang sebelah barat rumahnya dulu banyak tinggal warga Indo. Dan nama-nama tetanggaku dulu juga masih di ingat dengan baik oleh Oma Martha.
Aku takjub dan sungguh beruntung bisa bertemu dengannya. Ah sungguh suatu hal yang tidak pernah ku duga jika masih ada yang memberiku sebuah harapan dan pencerahan untuk mencari jejak rumahku dulu.
Rasanya tidak sabar lagi aku ingin menuju ke rumah di masa kecilku dulu. Ingin segera menumpahkan kerinduanku. Tapi apa daya karena hujan di siang itu dan pembicaraan yang begitu hangat membuatku harus sedikit kompromi.
Sebelum pamitan, aku sempatkan untuk berfoto bersama di depan rumah dengan Oma Martha (tengah) & Franky Heints (kanan). Terima kasih banyak aku sampaikan kepada Oma Martha yang sudah membantuku. Semoga di lain waktu kita masih bisa bertemu lagi.

SETELAH 76 TAHUN BERLALU
Aku bergegas menuju ke arah yang di tunjukkan oleh Oma Martha, rasanya tidak sabar lagi aku “kembali” ke rumahku dulu. Franky, Robert & Bagus berjalan di belakangku, seolah ingin ku tinggalkan mereka. Kenapa mereka berjalan begitu lambat?
Sebuah gang kecil beraspal membujur dari timur ke barat, lebar gang sekitar 1,5 meter dengan agak menurun ke barat. Ada selokan di tiap sisinya. Ada beberapa rumah di sini tapi sayangnya sudah kehilangan keasliannya. Gang kecil ini tembus ke Botton Gang Waluyo.
Karena saking semangatnya, aku malah berjalan sedikit kebablasan melewati rumahku. Untung saja Bagus segera mengingatkanku jika kita sudah sampai di rumah yang di cari.
Duh. Terasa makin keras debaran jantungku. Aku menatap nanar sebuah rumah di kanan gang kecil ini.

Foto Bagus Priyana.

Rumah masa kecilku dulu
Sebuah rumah bergaya tradisional dengan dinding tembok menghadap ke selatan. Rumah tertutup karena pemiliknya tidak ada di rumah. Dengan pagar tembok dengan pintu besi tertutup.
Aku tertegun cukup lama, aku berusaha untuk menggali lebih dalam kepingan memoriku di masa kecilku dulu.
Rumah ini sudah jauh berubah dari saat ku tempati dulu. Tentu saja, 76 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah cerita kehidupan.
Sebuah payung yang melindungi tubuh tuaku dari guyuran gerimis, seolah menjadi saksi buatku hari ini.
Aku masih ingat, rumahku dulu cuma berdinding bambu atau gedek saja. Pun dengan pagar depan juga dari bambu.
Di halaman sisi kanan tertanam pohon Jeruk Bali. Di sisi kiri tertanam pohon Jeruk Nipis, daun mangkokan dan pandan.
Aku masih ingat betul itu.
Di depan rumah ada selokan di kiri kanan gang. Air selalu mengalir setiap waktu. Aku suka sekali bermain-main di selokan itu.
Di samping rumah ada gang kecil menuju ke utara yang tembus hingga rumah tetangga.
Ah, sebenarnya aku tak mampu menahan emosiku. Rasanya aku ingin menangis haru bahagia. Di rumah ini, sebuah kisah suka duka terpatri di masa kecilku dulu (1935-1942). Masa kecil yang takkan pernah aku lupakan.
Gerimis sore itu seperti tahu tentang perasaanku.
Di rumah ini, omaku mengasuhku. Sedangkan mama papaku tinggal di Glagah. Omaku begitu sayang padaku.
Terima kasih Tuhan, Engkau mengabulkan doaku. Walaupun baru terkabul setelah 76 tahun. Engkau mengabulkan permintaanku walaupun di saat aku sudah beranjak senja.
Dan gerimis sore inipun masih mengiringi perjalananku.

Foto Bagus Priyana.

Rumah masa kecilku dulu

RUMAHKU.
Rumah yang ku tinggali ini sebenarnya bukan milik omaku, omaku menyewa dari seorang wanita bernama Groen. Tapi tidak menyewa 1 rumah karena di rumah ini juga ada 2 keluarga yang tinggal yaitu keluarga Leifheit dan Wals. Mereka juga menyewa kamar lain di rumah ini. Jadi dalam 1 rumah ada 3 keluarga yang tinggal.

Foto Bagus Priyana.

Bersama Franky di depan rumahku dulu

Ah sungguh ramainya rumah ini, terlebih masing-masing keluarga juga memiliki anak kecil sepantaran denganku. Aku biasa bermain dengan mereka.
Sedangkan Mevrouv/Nyonya Groen tinggal tidak jauh di rumah ini, hanya beberapa puluh meter di barat rumah yang kami sewa ini.
Groen ini seorang wanita Belanda yang sungguh unik karena selalu memakai kebaya berwarna putih dan bersarung untuk bagian bawahnya. Lebih terlihat anggun lagi karena Groen memakai sanggul.
Keseharian Groen ini menjual bubur dan gorengan di depan rumahnya. Pelanggannya tentu saja tetangga di sekitar rumahnya.
Groen memiliki anak perempuan yang bernama Lien, entah siapa nama lengkapnya. Tapi kami biasanya memanggil dengan nama Lien.
Aku masih ingat dengan nama tetanggaku yang lain, di antaranya Portier, Boshard dan Huwaij.
Ah andaikan anak-anak mereka masih hidup, tentunya akan menyenangkan sekali kami bisa bernostalgia.

Foto Bagus Priyana.

Gang kecil di sebelah rumahku dulu, jalan kecil ini yang menjadi saksi kenakalanku

AKHIR PERJALANAN
Dari 7 kali perjalanan ku ke Magelang, baru kunjungan di tahun ini yang paling berkesan. Tentu saja kunjungan pertama kali saat bertemu dengan adik-adikku di tahun 1989 di atas semuanya.

Foto Bagus Priyana.

Gang kecil ini menuju ke rumahku, sedang di sana adalah tempat jualan Tante Groen
Perjalanan yang begitu indah buatku. Terlebih sesudah 76 tahun aku meninggalkan rumah masa kecilku ini. Kenangan yang teramat luar biasa dan takkan pernah bisa ku lupakan.
Tuhan mengabulkan permintaanku untuk bisa berkunjung ke rumah ini.
Harapanku untuk bisa menemukan, akhirnya terwujud sebelum aku pulang ke Belanda akhir Januari ini.
Kepada para pembaca setia di grup KOTA TOEA MAGELANG ini, saya ucapkan banyak terima kasih. Semoga bisa mengambil hikmah dari kisah hidupku ini.
Terima kasih banyak buat Bagus yang sudah membantuku.

Foto Bagus Priyana.

Aku di apit oleh Franky [kiri] dan Bagus Priyana [kanan]
Ini foto bersama denganmu sesudah selesai pencarian rumahku di Botton Nambangan.
Good bless you. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik.
(TAMAT)

Magelang Menjadi Tempat Shooting Film Biopik “Wage”

Standard

https://kotatoeamagelang.files.wordpress.com/2017/09/92cba-20837730_160456617841634_5651404219610038272_n.jpg
“Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku. Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku….”
Siapa yang tidak mengenal lagu ini? Setiap WNI pasti dan wajib bisa menyanyikan lagu kebangsaan ini. Ya lagu berjudul INDONESIA RAYA ini merupakan karya WR. Supratman, nama lengkapnya adalah Wage Rudolf Supratman.
Sebuah film biopik di buat dan di dedikasikan untuk sang komponis ini saat berusia 10 – 35 tahun.
Selain sebagai komponis, ternyata Wage juga seorang sastrawan dan musisi lagu.
Film berjudul “WAGE” dengan sutradara John de Rantau ini di bintangi oleh aktor muda Rendra sebagai Wage dan sejumlah aktor kenamaan lain seperti Tengku Rifku Wikana, Annisa Ayudya dan Prisillia Nasution.
Melibatkan 3000 orang, termasuk 150 kru, 500 pemain, 60-70 aktor kunci dan ratusan pemain figuran.
Rencananya film biopik ini akan di rilis serentak pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2017 mendatang di 22 kota di Indonesia.
WAGE sendiri sudah melakukan shooting dari 21 Juli dan berakhir pada 20 Agustus lalu.

Hasil gambar untuk film wage john de rantau
Sejumlah kota menjadi lokasi shooting film ini, di antaranya Semarang, Klaten, Solo, Jogjakarta, Purworejo (tempat kelahiran WR Supratman) dan Magelang.
Lokasi shooting di Magelang meliputi Wisma Diponegoro di Jl. Akhmad Yani Poncol, Gedung eks Residenan Kedu, gedung eks Kampus UGM dan sebuah rumah tua di Jl. Tentara Pelajar (Selatan Aloon-aloon).

Eksotisme bangunan tua di Kota Magelang menarik minat tim film “WAGE” untuk shooting di kota ini. Sebelum pengambilan gambar, tim survei menjelajah di berbagai kota termasuk di Magelang.
Kebutuhan tempat shooting yang sebisa mungkin sesuai dengan skenario film dan cerita aslinya, membuat Magelang menjadi pilihan terbaik selain Semarang, Solo, Jogja, Klaten & Purworejo.
Tempat pertama yang menjadi bidikan kamera film adalah Wisma Diponegoro yang terletak di kawasan tangsi militer di Jl. Akhmad Yani Poncol. Foto Bagus Priyana.


Bangunan megah bergaya Romawi dengan pilar kolom menjulang ini di setting menjadi gedung Volksraad atau dewan rakyat Hindia Belanda di Batavia.
Dalam film WAGE ini di ceritakan bahwa di gedung Volksraad inilah para wakil rakyat khususnya dari kalangan pribumi berusaha menyuarakan hak-hak sebagai rakyat Hindia Belanda.
Penentangan terhadap sikap dari kebijakan pemerintah sering terjadi di depan gedung ini.
Demonstrasi dari rakyat pribumi membuat pemerintah menurunkan polisi atau opas.
Pasukan pengamanan Hindia Belanda ini diperankan oleh tentara betulan (TNI). Dengan baju hijau, topi khas ala opas dengan heiter di kaki dan senjata laras panjang, para opas ini berusaha menghalau para demonstran.
Puluhan lelaki dan perempuan dengan pakaian khas 1920-an dengan spanduk demo terbentang tak kalah kerasnya untuk berusaha masuk ke gedung Volksraad.
Perlawanan tak seimbang antara rakyat yang tanpa senjata melawan para opas bersenjata laras panjang terjadi di depan gedung.
Pengambilan gambar di lokasi ini berlangsung selama 1 hari pada Selasa lalu (15/8).

Foto Sujarwo Lowo Ijo.

Tempat kedua yang menjadi tempat pengambilan gambar film biopik berjudul “WAGE” adalah kompleks gedung eks Residenan Kedu di Jl. Diponegoro Kota Magelang. Di tempat ini ada 2 lokasi yang menjadi pilihan shooting yaitu pendopo Eks Residenan Kedu dan gedung eks Kampus UGM cabang Magelang.
Pada bagian pendopo yang sudah berusia hampir 200 tahun ini di setting menjadi gedung polisi pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Di sini beberapa adegan dengan para aktor dari Belanda yang berperan sebagai pimpinan polisi pemerintah Hindia Belanda. Beberapa set kursi lawasan di tata menarik sehingga mirip dengan setting cerita di tahun 1928.

Foto Bagus Priyana.Foto Sujarwo Lowo Ijo.Foto Sujarwo Lowo Ijo.
Di area lapangan dan di gazebo di depan pendopo juga menjadi tempat ideal untuk shooting. Terlebih dengan panorama pemandangan yang indah dari Perbukitan Giyanti dan Gunung Sumbing sungguh memikat mata. Beberapa adegan dengan melibatkan Wage (sapaan akrab WR Supratman), di ambil di lokasi titik ini.
Pada pojok sisi area kompleks yaitu di bekas kampus UGM di setting menjadi 2 bagian yaitu sebagai markas polisi Belanda (opas) dan tempat kongres perempuan Indonesia.

Foto Sujarwo Lowo Ijo.
Sebuah gardu jaga dan menara pengintai di buat sedemikian rupa sehingga mirip dengan markas opas.
Tumpukan karung goni sebagai benteng pertahanan menumpuk pada sisi depan markas.
“Ri Brandhil” alias kawat berduri berdiri tegak mengelilingi markas ini. Bendera Merah Putih Biru terpasang di tiang bendera di depan gedung dan berkibar di tiup angin. Sejumlah pemeran opas terlihat berjaga di area ini menunggu shooting berlangsung. Yang menarik para pemeran opas ini berasal dari pasukan TNI sehingga mempermudah dalam adegan. Terlebih dengan badan tegap, tinggi sejajar dan kulit sawo matang membuatnya mirip dengan opas jaman dulu.
Dalam adegan shooting yang lain, beberapa puluh anak sekolah berpakaian putih-putih menyanyikan lagu berbahasa Belanda dengan para opas berbaris siaga.
Pada bagian lain, sebuah ruang kelas yang lama tidak dipakai di jadikan sebagai tempat kongres perempuan Indonesia.
Dinding tembok berwarna putih pudar membuat tempat ini cocok buat setting cerita di tahun 1928.
Tim artistik pun cukup menambahi beberapa properti agar sesuai dengan latar, lokasi asli cerita dan tahun cerita peristiwa itu terjadi. Deretan meja panjang di depan sebagai tempat pimpinan kongres dan kursi-kursi di depannya sebagai tempat duduk peserta kongres. Uniknya lagi, di belakang gedung di buatkan sebuah “sumur” lengkap dengan timbanya yang semakin memperkuat setting film.

Foto Sujarwo Lowo Ijo.
Sutradara John de Rantau sangat serius dalam pengambilan setting cerita. Benar-benar berusaha sedetail mungkin sesuai dengan cerita aslinya. Tentu saja agar bisa menghasilkan kualitas film terbaik. Apalagi film ini mengangkat cerita seorang tokoh terkenal Indonesia sang komponis lagu kebangsaan Indonesia Raya, Wage Rudolf Supratman.

Tempat ketiga yang dipilih adalah sebuah rumah di ruas Jalan Tentara Pelajar, kira-kira 200 m meter dari Aloon-aloon Kota Magelang. Sebuah rumah tua di timur jalan yang dari segi arsitekturnya sebenarnya biasa saja. Gaya bangunannya juga tidak begitu artistik, atap berupa limasan kampung dengan beranda yang cukup luas.

Rupanya pemilihan rumah ini bukanlah tanpa alasan. Rumah ini dipilih karena mirip dengan rumah asli terjadinya peristiwa Kongres Pemuda II pada tahun 1928 di Jakarta. Rumah aslinya sekarang sudah menjadi Museum Sumpah Pemuda.

Miripnya dapat dilihat dari bentuk atap, muka rumah dan beranda. Terlebih dengan adanya 3 pintu masuk yang benar-benar mirip dengan rumah aslinya. Shooting di rumah ini berlangsung dari hari Jumat hingga Senin dini hari/

Fokus cerita di rumah ini adalah proses peristiwa Kongres Pemuda I pada tahun 1926 dan II  pada tahun 1928/ Sebagaimana diketahui bahwa dalam Kongres ke II terjadi 2 peristiwa penting dalam sejarah bangsa, yaitu Sumpah Pemuda dan berkumandangnya Lagu  kebangsaan Indonesia Raya.
(Foto : Sujarwo, Freddy Sudiono dan Edy Dwi N.)

Puluhan Rumah Disiapkan bagi Tamu Festival Lima Gunung

Standard
INTERNASIONAL
Seorang warga berjalan kaki di jalan Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang yang telah dipasangi instalasi seni untuk Festival Lima Gunung XVI/2017, Sabtu (15/7). (Foto: ANTARAJATENG.COM/Hari Atmoko)
Magelang, ANTARA JATENG – Sebanyak 40 rumah warga di kawasan Gunung Merbabu Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, disiapkan untuk menginap para tamu dari berbagai kota yang menghadiri Festival Lima Gunung XVI pada 28-30 Juli 2017.

“Warga siap menambah jumlah rumah yang untuk menginap maupun transit para tamu dan pengisi acara festival,” kata Ketua Panitia Lokal FLG XVI/2017 Kabupaten Magelang, Pawit (38), di Magelang, Sabtu sore.

Ia mengatakan hal itu usai rapat lanjutan persiapan pergelaran seni budaya itu di kompleks Padepokan Warga Budaya Gejayan. Festival Lima Gunung diselenggarakan setiap tahun oleh berbagai kelompok seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang dengan jejaringnya dari berbagai kota. Budayawan Magelang Sutanto Mendut menjadi inspirator utama Komunitas Lima Gunung.

Ia menyebut para tamu yang hendak menginap di rumah-rumah warga selama berlangsung festival secara mandiri tersebut tidak dipungut biaya.

“Warga juga menyiapkan berbagai makanan dan minuman untuk para tamu, sedangkan tempat istirahat atau tidur disiapkan selayaknya sebagaimana masyarakat desa menyambut tamu,” ujarnya.

Panitia menghendaki para tamu Festival Lima Gunung memperoleh kesan positif atas kehidupan sederhana setiap hari masyarakat desa di kawasan barat puncak Gunung Merbabu itu.

Sejak beberapa bulan terakhir, masyarakat setempat bergotong royong menghiasi desa dengan berbagai instalasi seni berbahan alami dan membuat panggung cukup luas di halaman rumah salah satu warga untuk pementasan berbagai kesenian dalam festival mendatang. Mereka juga membuat instalasi berwujud burung garuda dan naga dalam ukuran besar yang ditempatkan di arena pementasan.

Sedikitnya 60 kelompok kesenian akan tampil dalam festival tersebut, antara lain tarian, musik, performa seni, pameran seni, teater, pidato kebudayaan, dan kirab budaya.

Selain berbagai kelompok seniman Komunitas Lima Gunung, beberapa kelompok seniman dari sejumlah kota juga akan tampil pada festival tersebut, antara lain dari Yogyakarta, Solo, Semarang, Bandung, Jakarta, Lumajang, Kupang, Liwa, Kalteng, Banten, Kendal, Salatiga.

Selain itu, sejumlah kelompok kesenian dari desa-desa di sekitar Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, dan beberapa lainya dari kabupaten di sekitar Magelang.

Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto mengatakan festival yang tahun ini mengangkat tema bernada kritik sosial, “Mari Goblok Bareng” tersebut, menjadi ajang silaturahim para seniman, baik sesama komunitas maupun dengan jejaringnya dari berbagai kota.

“Selain untuk saling bertemu dan memperkuat `sesrawungan` (bergaul), festival tahun ini juga mencermati secara kritis perkembangan kehidupan bersama dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kita ingin suasana kehidupan bersama semakin baik, saling menerima perbedaan, rukun, hidup tenteram dan damai, sebagaimana dijalani setiap hari oleh masyarakat desa,” ujarnya.

 

Editor : Achmad Zaenal M

COPYRIGHT © ANTARAJATENG 2017

sumber : http://m.antarajateng.com/detail/puluhan-rumah-disiapkan-bagi-tamu-festival-lima-gunung.html#.WWqjHnrtX_w.facebook

KTM Kembali Menggelar acara Djeladjah Saloeran Air : Kali Manggis #2

Standard

AGENDA KOTA TOEA MAGELANG – 23 Juli 2017

Kali Manggis, sebuah sungai buatan yang begitu berarti bagi warga Magelang. Bahkan ribuan hektar area sawah dan perkebunan di airinya.

Dengan membendung Kali Progo di wilayah Badran Bengkal Kec. Kranggan Kab. Temanggung, Kali Manggis ini mengalir hingga lebih dari 20 km. Mulai dari wilayah Dusun Badran Desa Bengkal Kec. Kranggan di Temanggung, di wilayah Secang, masuk wilayah Kota Magelang, melintasi Mertoyudan dan mengalir hingga Sawitan di Kota Mungkid.

Lalu seperti apa keadaannya kini setelah lebih dari 100 tahun “mengalir sampai jauh” ?
Ayo ikuti acara ini :

#Acara
– Nama Acara : DJELADJAH SALOERAN AIR #2 : KALI MANGGIS #2 [jalur Payaman – Bendung Badran sejauh 7,5 km]

#WAKTU
– Waktu : Minggu Wage 23 Juli 2017
– Jam Kumpul : 06.30 – Selesai

#TempatKumpul
– Tempat Kumpul : Tugu Listrik ANIEM [depan Klenteng Liong Hok Bio/depan Kantor Pos Magelang]

#KONTRIBUSI
– Kontribusi : Rp 25.000,- [fasilitas : air mineral, snack, parkir motor, makalah, makan siang, transportasi pulang]

#PENDAFTARAN
– Cara Pendaftaran : ketik KALI MANGGIS #2 [spasi] Nama Anda.
Kirim ke 0878 32 6262 69 atau daftar nama anda di bawah kolom postingan poster acara di bawah ini.
– Pendaftaran paling telat Jumat 21 Juli 2017 jam 18.00 WIB.

#NB :
1. Peserta wajib datang tepat waktu, di mohon untuk sarapan pagi terlebih dahulu.

2. Peserta wajib memakai kendaraan bermotor [motor/mobil] beserta kelengkapan berkendara [SIM, STNK, helem, dll], boleh sendirian atau berboncengan.

3. Pembayaran dilakukan saat daftar ulang peserta sebelum acara di mulai di tempat kumpul di Tugu Listrik ANIEM dari jam 06.30 – 07.30 WIB [depan Klenteng Liong Hok Bio/depan Kantor Pos Magelang].
Perincian beaya pendaftaran :
– Air mineral & snack pagi Rp 5.000,-
– Makalah Rp 1.000,-
– Parkir motor Rp 2.000,-
– Welcome drink saat finish Rp 2.000,-
– Makan siang di Badran Rp 10.000,-
– Transport dari Badran ke Payaman Rp 5.000,-

4. Peserta wajib memakai pakaian yang nyaman dan aman untuk jelajah. Pergunakan topi, kaos katun berwarna terang/muda, akan lebih baik memakai kaos lengan panjang dan memakai sepatu kets yang nyaman.
Bawalah sapu tangan atau handuk kecil untuk penyeka keringat.

5. Jelajah dilakukan dengan berjalan kaki sejauh 7,5 km menelusuri Kali Manggis dari Payaman hingga Bendung Badran di Kranggan Temanggung.

6. Jadwal kegiatan :
– Jam 06.30 – 07.30 : daftar ulang peserta
– Jam 07.45 – 08.15 : perjalanan dengan kendaraan bermotor menuju Payaman. Sudah di siapkan tempat parkir yang representatif.
– Jam 08.30 – 12.00 : perjalanan jelajah dengan berjalan kaki sejauh 7,5 km.
– Jam 12.00 – 13.00 : istirahat di Bendung Badran
– Jam 13.00- 14.00 : makan siang di Badran
– Jam 14.00 : pulang dengan transportasi yang sudah di sediakan menuju Payaman untuk ambil kendaraan masing-masing peserta.

7. Hal-hal yang belum di sampaikan akan di publikasikan kemudian.

SAVE HISTORY & HERITAGE IN MAGELANG!

Foto Ryan 'Corleone' Adhyatma.

Ketika Kapolres Magelang Kota berseragam Polisi Tempo Doeloe di Pameran Magelang Tempo Doeloe

Standard

Kota Magelang – Berseragam Polisi Tempo Doeloe, Kapolres Magelang Kota Jawa Tengah AKBP Hari purnomo SIK SH melangkah tegap dengan gagahnya menuju Alun-alun Kota Magelang untuk mengikuti Pembukaan Pameran Magelang Tempo Doeloe sebagai rangkain penutup dalam peringatan Hari Jadi Kota Magelang ke 1111.

Jumat (12/05/2017) pukul 21.00 wib, Kapolres Magelang Kota Jawa Tengah AKBP Hari Purnomo SIK SH mengikuti Pembukaan Pameran Magelang Tempo Doeloe.

Pameran dengan tema ” The Pasar ” akan berlangsung selama 3 hari di mulai tanggal 12 s.d 14 Mei 2017 di buka oleh Wakil Walikota Magelang Dra. Windarti Agustina.

Dalam sambutannya Wakil Walikota meminta maaf atas ketidakhadiran Walikota untuk membuka langsung acara Magelang Tempo Doeloe.

Pameran Magelang Tempo Doeloe merupakan sumbangsih terhadap bangsa untuk memelihara budaya bangsa, terima kasih kepada semua pihak yang membantu terselenggaranya pameran dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota Magelang ke 1111 ucapnya

Pertambahan usia harus diimbangi dengan cara semakin berpikir yang positif, harus merasa memiliki dan memelihara Kota Magelang imbuhnya.

Adanya pameran Magelang Tempo Doeloe bertujuan untuk kekalkan rasa kebanggaan, memiliki serta memelihara terhadap budaya bangsa Indonesia.

Usai mengakhiri amanat, Wakil Walikota memukul kenthongan sebagai tanda pembukaan pameran dilanjutkan meninjau 76 stand pameran bersama Forpimda Kota Magelang dan tamu undangan.

Hadir dalam pembukaan pameran adalah Wakil Wali Kota Magelang Dra. Indarti Agustina, Kapolres Magelang Kota AKBP Hari Purnomo SIK SH dengan Seragam Polisi Tempoe Doeloe nya, Ketua DPRD, Sekda Kota Magelang, Anggota DPR Kota Magelang, Gubernur Akmil dan Kepala Satpol PP Bapak Singgih. (polresmagelangkota.com)

(D’anjar -Humas Polres Magelang Kota)

sumber : https://tribratanews.jateng.polri.go.id/2017/05/13/ketika-kapolres-magelang-kota-berseragam-polisi-tempo-doeloe-di-pameran-magelang-tempo-doeloe/

Dari Pembukaan Acara Pameran Magelang Tempo Doeloe 2017 : Keindonesiaan Pun Ada di Pasar Tradisional

Standard

Keindonesiaan Pun Ada di Pasar Tradisional

Personel panitia menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” saat pembukaan “Magelang Tempo Doeloe” bertajuk “De Passar” di Alun-Alun Kota Magelang, Jumat (12/5) malam. (Foto: ANTARAJATENG.COM/Hari Atmoko)

Begitu para pejabat Kota Magelang dan hadirin lainnya selesai mengikuti seremonial pembukaan pameran Magelang Tempo Doeloe bertajuk “De Passar”, seniman Andretopo mengambil pelantang untuk mengajak semua di alun-alun setempat mengumandangkan lagu “Indonesia Raya”.

Hari Jumat (12/5) belum larut malam. Suasana terasa segar dan benderang setelah sebelum acara dimulai, lampu listrik di berbagai gerai pameran di Alun-Alun Kota Magelang, Jawa Tengah itu, padam beberapa saat karena kendala teknis.

Rembulan bertengger di langit bersih di timur alun-alun setempat, masih mewajahkan bulan penuh yang elok karena purnamanya, ketika Wakil Wali Kota Magelang Windarti Agustina selesai membacakan sambutan tertulis Wali Kota Sigit Widyonindito dan menambuh rebana, tanda dimulai pameran Magelang Tempo Doeloe selama 12-14 Mei 2017. Pameran Magelang Tempo Doeloe pada tahun ini, sebagai penyelenggaraan ke-10.

Puluhan personel panitia pameran dalam rangkaian HUT Ke-1.111 Kota Magelang itu pun bergegas berjejer di depan panggung pertunjukan untuk memelopori semua yang ada di pusat kota setempat, mengumandangkan lagu kebangsaan Indonesia. Mereka mengenakan pakaian adat Jawa, berupa surjan, bebet, belangkon, dan iket.

Para penjaga stan pameran yang menghadirkan berbagai barang antik dan bernuansa tempo dulu, serta kuliner tradisional pun diajak berdiri dengan tegap di tempat masing-masing. Begitu pula para penyaji kesenian rebana di atas panggung utama. Mereka juga berdiri untuk ikut menyanyikan lagu “Indonesia Raya” dengan saksama.

“Malam ini, kesempatan yang baik untuk kita meneguhkan semangat keindonesiaan kita,” begitu terdengar suara Andretopo yang juga salah satu personel panitia pameran, ketika dengan pelantang mengumumkan tujuan pentingnya lagu “Indonesia Raya” dikumandangkan malam tersebut.

Lantunan lagu kebangsaan oleh semua di alun-alun setempat, di luar seremonial pembukaan pameran yang ditata pihak protokoler Pemerintah Kota Magelang, nampaknya tidak lepas dari kondisi aktual bangsa yang sedang membutuhkan peneguhan komitmen terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Momentum pembukaan acara dengan para undangan berpakaian tradisional Jawa dan dandanan lainnya bergaya tempo dulu, oleh panitia penyelenggara yang umumnya komunitas seniman dan pegiat Komunitas Kota Toea Magelang, dimanfaatkan untuk mengantar publik kepada pemaknaan atas kesadaran bahwa nilai keindonesiaan juga bisa ditemukan di pasar tradisional.

Tema “De Passar” dalam pameran itu, bukan sekadar mengajak masyarakat luas menjumpai memori romantisme atas nuansa masa lalu pasar tradisional, atau menghadirkan etalasenya yang hingga kini masih hidup di masyarakat dengan program revitalisasi oleh pemerintah untuk menghadirkan pasar yang lebih nyaman, bersih, teratur, dan indah.

Akan tetapi, ada hal bermakna yang nampaknya lebih ingin disajikan, sebagaimana diungkapan ketua panitia, Hery Nurjianto, bahwa di pasar tradisonal ditemukan nilai-nilai kuat bangunan keindonesiaan.

Dalam pameran Magelang Tempo Doeloe bertajuk “De Passar” disiapkan 76 gerai pelaku usaha kecil dan menengah, sejumlah instansi pemerintah dan perusahaan Badan Usaha Milik Daerah, pedagang, serta kelompok masyarakat, untuk menggelar dagangan dan produk masing-masing.

Berbagai dagangan mereka, seperti kerajinan rumah tangga, suvenir, batik, mainan anak, kuliner tradisional, konveksi, peralatan rumah tangga, uang kuno, buku lama. Selain itu, pameran foto masa lalu Kota Magelang, pameran kendaraan zaman dahulu yang berupa mobil, sepeda, dan sepeda motor kuno.

Di arena itu pula, kata Koordinator Komunitas Kota Toea Magelang Bagus Priyana, bisa dijumpai pedagang ayam, ikan, burung merpati, es lilin, dan pisang.

Berbagai gerai dan arena pameran juga dikemas dengan instalasi berbahan alam, seperti janur, jerami, dan bambu untuk menghadirkan suasana zadul.

Disebutkan pula bahwa pameran Magelang Tempo Doeloe menghadirkan pasar tradisional yang direkonstruksi dalam bentuk peralatan perbakulan, seperti lincak tempat duduk pedagang dan pembeli, serta alat pikul terbuat dari bambu.

Sajian lainnya yang berupa berbagai pementasan kesenian tradisional dan musik, serta lomba donalan anak, tidak lepas dari tujuan membawa pengunjung bernostalgia dan menyerap romantisme masa lalu.

“Di pasar tradisional tergambar humanisme sangat terasa dan ditemukan toleransi, kerukunan, saling tolong menolong dalam hubungan pedagang dan pembeli,” kata Hery.

Sejumlah pasar tradisional, baik yang masih beroperasi ataupun sudah hilang di Kota Magelang, antara lain Pasar Rejowinangun, Pasar Kebon Polo, Pasar Ngasem, Pasar Ampera, Pasar Cacaban, Pasar Gotong Royong, dan Pasar Tarumanegara.

Pasar tradisional telah membuktikan peranan yang bukan sekadar tempat transaksi jual beli antara masyarakat yang membutuhkan barang kebutuhan dan penjual yang menyediakan barang kebutuhan.

Akan tetapi, pasar tradisional menjadi sarana relasi masyarakat dengan keragaman latar belakangnya, menjadi kekayaan sosial budaya yang bernilai penting dalam bangunan keindonesiaan.

Hery yang juga Direktur Utama Bank Magelang itu, mengemukakan bahwa relasi kemanusiaan dalam aktivitas di pasar tradisional memancarkan pula wujud saling percaya dan kejujuran.

Eksistensi pasar tradisional yang humanis sempat dikhawatirkan tergeser oleh merebaknya pasar modern atau toko swayalan yang menghadirkan relasi instan, di mana pembeli secepatnya mendapatkan barang kebutuhan dan penjual sekilat mungkin meludeskan stok dagangan dan meraup keuntungan.

Suasana pasar modern atau toko swalayan menghadirkan kesan hanya tempat jual beli barang kebutuhan. Bahkan di toko modern, pembeli seolah dilayani pegawai dengan ungkapan ramah berirama robotik karena minim improvisasi humanistik.

Sebagaimana dikatakan Bagus Priyana yang juga salah satu penggagas pameran Magelang Tempo Doeloe, Wali Kota Sigit membenarkan bahwa pasar tradisional menjadi cermin perkembangan kemajuan kota.

“Untuk kemajuan kota, tengoklah kondisi pasar,” ujarnya dalam sambutan tertulis yang dibacakan wakilnya, Windarti Agustina.

Pasar tradisional mencerminkan nilai budaya dan fungsi sosial, di mana ada interaksi masyarakat melalui negosiasi, menawarkan gagasan, dan saling menawar untuk mencapai kesepakatan.

Interaksi sosial yang menjadi wajah keindonesiaan saat ini, terkesan makin pudar karena tergerus kemajuan industri teknologi komunikasi.

Bahkan, orang sekarang bisa berbelanja cukup dengan jari telunjuk memencet tombol gawai untuk kemudian barang yang dibeli, diantar sampai tujuan.

Ajakan Wali Kota Sigit untuk masyarakat setempat menghidupi interaksi sosial, setidaknya terwujud di salah satu stan saat pembukaan pameran malam itu.

Secara alamiah terjadi perjumpaan tak sengaja dua pengunjung di stan penjual nasi rames, mangut ikan, dan aneka gorengan, serta minuman hangat. Ternyata mereka sama-sama alumni SMA swasta paling favorit zaman dahulu di Kota Magelang, namun beda angkatan.

Di stan milik Siti Aminah yang melayani tamunya dengan kebaya motif lurik itu, mereka berbincang makin akrab tentang suasana pelajar angkatan masing-masing, termasuk tawuran dengan siswa sekolah lain.

Mereka juga saling bercerita tentang pompa bensin satu-satunya di alun-alun kala itu, soal lalu lalang kereta api dan bus umum dengan jalurnya yang melintasi kota itu, dan keramaian pasar-pasar tradisional di kota setempat.

“Bapak saya dulu terkenal karena pegawai LLAJR (Lalu Lintas Jalan Raya). Saya sering diberi gelang karet oleh anak buah bapak yang bertugas menarik retribusi di terminal dekat Pasar Ampera (Sekarang Kompleks Pertokoan Rejotumoto, red.),” kata Cahyono, seorang dari dua kawan seperjumpaan itu.

Sejumlah orang lain yang sedang jajan di stan itu menyimak dengan baik keduanya saling berbagi ingatan tentang masa lalu kota berhawa sejuk tersebut.

Mereka lainnya itu, mungkin sedang menyerap pemaknaan persaudaraan dan semangat kekeluargaan yang bertemu dalam memori tak terhapuskan dua orang tersebut, atas kesamaan masa lalu keindonesiaan.

sumber : http://www.antarajateng.com/detail/keindonesiaan-pun-ada-di-pasar-tradisional.html#.WRbHfy6JYX0.facebook

Editor: Antarajateng

COPYRIGHT © ANTARA 2017