Monthly Archives: July 2016

Boma Lahirkan “Pala Kependhem” di Festival Lima Gunung

Standard

Seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor menyuguhkan pentas wayang waton dengan lakon “Lahirnya Boma” pada puncak Festival Lima Gunung XV/2016 di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Minggu (24/7) malam. (Ari Kusuma/dokumen Komunitas Lima Gunung).

Magelang, Antara Jateng – Seniman petani dari kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sepertinya memang titis membeberkan makna kemuliaan pertanian melalui suguhan karya kontemporer wayang waton berlakon “Lahirnya Boma” pada malam terakhir Festival Lima Gunung XV/2016.

Bagaikan penghormatan dari seluruh penonton atas kemegahan terhadap pementasan besar, mereka beroleh kemuliaan melalui “standing ovation” penonton, setelah memainkan lakon kelahiran anak Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi tersebut.

Pementasan seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisir, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, itu mendedahkan pemaknaan atas tema festival tahunan yang diselenggarakan secara mandiri seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh), “Pala Kependhem”, yakni berbagai tanaman yang buahnya tumbuh dalam tanah.

Festival Lima Gunung XV berlangsung selama 19-24 Juli 2016 dengan pembukaan di Candi Gunung Wukir Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, sedangkan berbagai pementasan kesenian dan agenda kebudayaan lainnya melibatkan 50 grup kesenian, menggunakan dua panggung, “Panggung Tela” dan “Panggung Kimpul”, di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Dusun Keron yang menjadi lokasi festival dipasangi berbagai ragam instalasi seni berbahan baku alam, seperti bambu dan jerami oleh warga setempat yang tergabung dalam Sanggar Saujana Keron pimpinan Sujono.

Latar belakang panggung utama, “Panggung Kimpul”, festival yang untuk memainkan wayang waton itu, juga berupa instalasi gunungan raksasa setinggi 15 meter terbuat dari bambu dan jerami, sedangkan di kiri dan kanannya, berupa hiasan penjor kontemporer dari bambu dan jerami pula dengan berbagai ragam bentuknya.

Lakon tentang kelahiran Boma Narakasura, salah satu tokoh dunia pewayangan yang dikenal pula dengan nama Setijo, digarap secara kontemporer menjangkau antara lain kesenian wayang orang, wayang kulit, performa gerak, teater, musik gamelan, oleh seniman yang sehari-hari hidup sebagai petani.

Sutradara yang juga dalang wayang waton, diampu langsung oleh pemimpin padepokan berbasis kesenian wayang orang yang didirikan sejak 1937, Sitras Anjilin, sedangkan penata tari Surawan, penata iringan musik Martejo, dan penata lampu Bagor serta Cathak.

Pementasan dalam durasi pendek, sekitar 30 menit, dengan semua penabuh gamelan (Markayun, Prayitno, Sarwoto, Teguh, Martejo, dan Darmawan) berposisi berdiri di depan panggung raksasa terbuat dari tatanan bambu pada Minggu (24/7) malam tersebut, dibuka dengan suluk Sang Dalang, yang menceritakan tentang adegan “goro-goro”.

Sejumlah pemain memasuki panggung tanah yang dibaluri jerami, sambil masing-masing membawa obor untuk ditancapkan di beberapa tempat pementasan yang juga dihiasi dengan bentangan kain panjang warna putih membentuk tanda silang.

Dalam balutan minim cahaya, semua penonton terasa tak bersuara. Suasana terkesan sunyi. Hanya lantunan tembang bercerita “goro-goro” dikirim Sang Dalang sambil mengangkat wayang gunungan, memanfaatkan alur semilir angin gunung sebagai pembawa hawa dingin malam menuju pendengaran penonton, diiringi tabuhan gamelan berirama perlahan.

Semua penonton festival yang mengelilingi arena pementasan mungkin secara bersama-sama pula, mulai menganyamkan tancapan awal cerita di benaknya tentang lakon “Lahirnya Boma Narakasura”.

Para wirasuara yang juga penari latar (Martejo, Suwanta, Haryadi, Sumarno, Ateng, dan Saparno) sambil memainkan gerak teatrikal bersama semua penabuh gamelan, melantunkan tembang rampak yang syairnya mencuplik dari suatu rapalan.

“‘Maratiweka mabiyujita sabarating’,” begitu berulang-ulang kalimat tembang itu terdengar mewarnai gerak performa tarian, saat Sang Dalang mengisahkan bencana menimpa bumi karena alamnya rusak oleh ulah Dewa Siwa (Untung Pribadi).

Dikisahkan dalam adegan wayang waton berikutnya, bahwa Dewa Wisnu (Surawan) turun ke bumi lalu bertemu dengan Dewi Pertiwi yang melalui performa gerak dimainkan tiga seniman, yakni Riya, Sinta, dan Nora. Mereka dikisahkan bercinta dan kemudian lahir Boma atau Setijo, sosok raksasa yang sakti.

Boma dalam pementasan wayang waton itu, digambarkan oleh seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor, sebagai “ogoh-ogoh” yang dimainkan secara performa gerak oleh Setiaka, Pujiyanto, Agus, Sabari, dan Sunantara.

Dalam cerita pewayangan, Boma berhasil mengalahkan Arjuna, akan tetapi Kresna atau titisan Dewa Wisnu yang juga ayahnya yang berpihak kepada Pandawa, tidak bisa mengalahkan Setijo. Ia hidup lagi, setiap kali jasadnya menyentuh tanah.

Oleh Dalang Sitras yang juga salah satu pemimpin Komunitas Lima Gunung itu, nama Boma diartikan sebagai “bumi” atau “ibu bumi”, sedangkan nama aliasnya, yakni “Setijo”, diejawantahkan dalam dua kata, “siti (tanah) dan ijo (hijau)”, yang maksudnya tanah subur.

Adegan terakhir, sebelum Sang Dalang berbicara singkat menggunakan bahasa Indonesia, “Demikian pementasan kami”, berupa gerakan teatrikal yang bercerita tentang kelahiran Boma Narakasura.

Gerakan performa seni itu menggambarkan seorang penari perempuan diangkat oleh beberapa pemain lainnya dari tengah arena panggung mendekati tempat Sang Dalang berdiri.

“Ketika tanah subur maka menjadi tumbuh ‘pala kependhem’, ‘pala gumantung’ (tanaman dengan buah yang tumbuh tergantung),” kata Sitras.

Saat memimpin kirab budaya puncak festival siang harinya, Sitras juga mengatakan tentang pentingnya terus menerus digelorakan semangat cinta terhadap alam dan peduli terhadap pertanian berkelanjutan.

Otokritik pun dilontarkannya, bahwa sebagian penggarap pertanian zaman sekarang tidak melakukan ulah krida alamnya itu dengan perasaan cinta terhadap tanah dan alam.

Padahal, katanya, penggarap tanah pertanian tanpa landasan cinta alam sebagai mengingkari kehidupannya sendiri. Ibarat ikan bunuh diri karena ulahnya yang membuat air kolam menjadi keruh.

“Tema festival tahun ini ‘Pala Kependhem’ mengingatkan bahwa kita tidak kekurangan, tetapi hanya kehilangan rasa cinta kepada alam, tanah, ibu pertiwi,” katanya.

Budayawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Romo Budi Subanar yang hadir pada puncak Festival Lima Gunung XV/2016 mengemukakan agenda kebudayaan para seniman petani tersebut, sebagai upaya memuliakan jagat pertanian dengan para petani yang tangguh dan bijaksana.

“Melalui festival ini, pertanian dengan segala hasil pekerjaan petani, dimuliakan. Saya merasa keraton saja sebagai keratonnya para petani. Yang berkuasa juga jagat petani. Di keraton ada ‘pare anom’, itu warnanya kuning dan hijau, jagatnya petani,” ucapnya.

Festival Lima Gunung disebutnya sebagai momentum “ngangsu kawruh” (menimba ilmu) tentang jagat pertanian melalui dunia kesenian yang kaya simbol.

Budayawan lainnya yang juga pemimpin spiritual Komunitas Lima Gunung K.H. Muhammad Yusuf Chudlori mengemukakan tentang festival yang menjadi ajang silaturahim antarmanusia secara manusiawi di tengah terpaan zaman dengan kemajuan dunia teknologi komunikasi dan informatika.

“Dengan festival ini, semua datang, bertemu untuk ‘andum slamet’ (berbagi keselamatan),” kata pemimpin Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo Kabupaten Magelang itu.

Ia mengajak masyarakat desa memperkuat kebanggaan menjadi petani dengan kekayaan nilai kearifan dan semangat kekeluargaan yang terus dihidupinya.

“Memang benar festival ini memuliakan tani, supaya tetap bangga menjadi petani dengan gotong royongnya. ‘Mugi-mugi Festival Lima Gunung lestantun bekta manfangat lan berkah kita sedaya’ (Semoga festival itu tetap lestari, membawa manfaat dan memberi berkah untuk semua orang, red.),” katanya.

Editor: M Hari Atmoko

COPYRIGHT © 2016

sumber : http://www.antarajateng.com/detail/boma-lahirkan-pala-kependhem-di-festival-lima-gunung.html

Warga Lereng Merapi Temukan Cobek Raksasa

Standard

Dua warga mengukur benda mirip cobek raksasa yang ditemukan di kawasan Gunung Merapi Dusun Trasan, Desa Bringin, Kecamatan Sumbung, Kabupaten Magelang, Jumat (29/7). (Hari Atmoko/dokumen).

Magelang, Antara Jateng – Masyarakat kawasan barat daya puncak Gunung Merapi di Dusun Trasan, Desa Bringin Srumbung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menemukan benda mirip cobek ukuran raksasa saat menggali tanah untuk pembuatan septictank.

“Waktu itu, kemarin (28/7) sekitar pukul 11.30 WIB kami sedang menggali tanah dengan linggis, tiba-tiba ujung linggis menyentuh batu, dan saya terus menggalinya lalu menemukan cobek besar ini,” kata Maryono (58), seorang warga yang sedang menggali tanah untuk pembuatan septictank di rumah tetangganya, Rohmadi (25), di Magelang, Jumat.

Kabar temuan benda yang diduga peninggalan zaman kuno tersebut segera menyebar kepada warga lainnya sehingga mereka, termasuk aparat kepolisian, berdatangan ke pekarangan rumah Rohmadi itu untuk menyaksikan temuan tersebut.

Temuan cobek raksasa tersebut telah diangkat dari kedalaman tanah sekitar dua meter dengan menggunakan “crane” kecil, milik seorang tetangga yang membuka bengkel tak jauh dari tempat itu.

Cobek itu berdiameter 115 centimeter, tebal bibir delapan centimeter, sedangkan ukuran diameter bagian dalam 98 centimeter, dengan ketinggian 50 centimeter, dan kedalaman lubang cobek sekitar 10 centimeter.

Beberapa batu juga ditemukan di dekat cobek itu, dengan ukuran panjang 26 centimeter, lebar 10 centimeter, dan tebal 11 centimeter.

Seorang pekerja lainnya, Daryoto (55) menyatakan petugas kepolisian sudah mendatangi tempat temuan cobek raksasa tersebut.

Rohmadi menyatakan akan menjadikan temuan itu sebagai hiasan pekarangan rumahnya.

“Silakan kalau pemerintah mau mengambil, tetapi ada ganti ruginya,” ucapnya.

Ia mengatakan tempat itu sebelumnya berupa kebun dengan posisi tanah yang lebih tinggi dengan ditumbuhi pepohonan. Oleh karena akan dibangun rumah, kemudian tanahnya diratakan.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemerintah Kabupaten Magelang Edy Susanto menyatakan belum mendapatkan laporan terkait dengan temuan tersebut.

Akan tetapi, pihaknya akan melakukan koordinasi dengan pihak terkait lainnya untuk penanganan lebih lanjut atas temuan itu.

Editor: M Hari Atmoko

COPYRIGHT © 2016

sumber : http://www.antarajateng.com/detail/warga-lereng-merapi-temukan-cobek-raksasa.html

Persembahan “Pala Kependhem” ke Candi Gunung Wukir

Standard

Para seniman petani melakukan prosesi sesaji dan doa di reruntuhan Candi Gunung Wukir Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang saat pembukaan Festival Lima Gunung XV/2016, Selasa (19/7). (Hari Atmoko/dokumen).

Magelang, Antara Jateng – Kalau pembukaan Festival Lima Gunung XV/2016 dilakukan di Candi Gunung Wukir, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dengan mempersembahkan sesajian “pala kependhem”, tentu karena pesta kebudayaan oleh seniman petani itu memperoleh inspirasi dari situs tersebut.

Ratusan orang, terutama kalangan seniman petani Komunitas Lima Gunung dengan berbagai kelompok seniman, pemerhati budaya, dan warga setempat yang menjadi jejaring komunitas itu, Selasa (19/7) siang, menjalani prosesi pembukaan festival tahunan secara mandiri atau tanpa sponsor, di candi yang masuk Dusun Carikan dan Canggal, Desa Kadiluwih, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang.

Mereka dengan mengenakan pakaian serba warna putih dan hitam membawa berbagai sesaji, terutama “pala kependem”, seperti singkong, umbi, tales, gembili dalam prosesi ritual secara khidmat dan tanpa tabuhan riuh alat musik, dari halaman rumah warga Dusun Carikan menuju puncak bukit setinggi sekitar 335 meter dari permukaan air laut, yang dikenal sebagai Gunung Wukir, tempat reruntuhan candi era Mataram Kuno tersebut.

Sesajian lainnya yang mereka bawa, antara lain, berbagai sayuran panenan petani di Kabupaten Magelang yang dikelilingi lima gunung, yakni Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh, ingkung, ayam jantan dan betina, dupa, air, bunga mawar warna merah serta putih.

Festival Lima Gunung XV berlangsung mulai 19 hingga 24 Juli 2014 di kawasan antara Gunung Merapi dan Merbabu di Dusun Keron, Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang dengan melibatkan sekitar 50 grup kesenian Komunitas Lima Gunung, kelompok-kelompok kesenian di desa-desa sekitarnya, serta beberapa grup dari sejumlah kota besar lainnya, dalam tema “Pala Kependhem”.

Agenda festival, antara lain berbagai pentas kesenian tradisional dan kontemporer, performa seni, pameran seni rupa, peluncuran buku Komunitas Lima Gunung “Jawadwipa Kependhem”, kirab budaya, dan pidato kebudayaan oleh para tokoh, bakal menyemarakkan festival tahunan yang telah mendunia tersebut.

Dusun Keron juga telah dihiasi dengan berbagai instalasi berbahan alam dan dua panggung pertunjukan oleh warga dusun setempat yang menghidupi kesenian petani dalam Sanggar Saujana pimpinan Sujono.

Candi Gunung Wukir yang di candi utamanya masih terdapat satu yoni dengan tiga reruntuhan candi perwara adalah peninggalan era Mataram Hindu. Pada 1879, di candi itu ditemukan Prasasti Canggal berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi. Angka tahun tersebut menunjuk masa kepemimpinan Raja Sanjaya, keturunan Ratu Shima (674 s.d. 689 Masehi).

Prasasti yang kini disimpan di Museum Nasional di Jakarta itu menorehkan catatan tentang masyarakat yang hidup makmur, tenteram, patuh terhadap aturan, dan kepemimpinan yang bermartabat.

Ihwal itulah kiranya menjadi inspirasi para seniman petani Komunitas Lima Gunung untuk merumuskan tema besar festival mereka tahun ini sebagai “Pala Kependhem”.

Bahwa nilai-nilai hidup bersama dan keadaan masyarakat yang sejahtera pada masa lalu, telah lama terpendam meskipun tidak mati. Mereka menemukan dalam simbolisasi tanaman pertanian mereka “pala kependhem” yang hidup, tumbuh, dan berbuah di dalam tanah hingga siap dipetik, menjadi suri teladan kehidupan pada era kini.

Pembukaan Festival Lima Gunung XV/2016 dijadikannya momentum refleksi atas nilai-nilai luhur yang telah dibangun oleh nenek moyang bangsa. Mereka seakan hendak mengunggah nilai-nilai luhur yang selama ini terpendam.

Tokoh berwibawa dan kejawen Komunitas Lima Gunung Sitras Anjilin memimpin rangkaian prosesi ritual. Para pelaku prosesi meletakkan berbagai sesaji di bawah yoni di reruntuhan candi utama. Mereka bersemadi selama beberapa saat sebagai tanda berdoa.

Sitras yang juga pemimpin Padepokan Tjipto Boedojo Tutup Ngisor Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang di kawasan Gunung Merapi bersama Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto dan didampingi seorang peziarah selama tiga bulan terakhir di Candi Gunung Wukir, Wijiyanto, berjalan mengelilingi tiga kali reruntuhan bangunan utama candi itu.

Pada kesempatan itu, Wijiyanto yang berasal dari Lumajang, Jawa Timur tersebut, juga memercikkan air dari tempayan menggunakan janur kepada setiap peserta prosesi ritual yang berkumpul di bawah reruntuhan Candi Gunung Wukir.

Langit cerah di atas bukit dan suasana khidmat menjadikan aura refleksi “Pala Kependhem” terasa merasuk ke batin setiap orang.

Tak ada suara tak perlu yang terdengar, selain tembang doa berbahasa Jawa dilantunkan Sitras dengan iringan lembut musik tiup dan tetabuhan genta serta lonceng yang lirih oleh Kelompok Bohemian Yogyakarta, sesekali mewarnai kekhusyukan prosesi mereka yang berasal dari berbagai latar belakang agama serta kepercayaan.

Tak ada pelantang juga dalam acara takzim itu seakan menjadikan segala gerak, persembahyangan, dan pidato sejumlah tokoh menyatu dalam suasana cerah dan tiupan angin di atas bukit dengan reruntuhan candi yang dikelilingi rerimbun pepohonan.

Penyair yang juga reporter salah satu stasiun televisi lokal, Widodo Setyawan, membacakan karya puisinya berjudul “Demi Sanjaya atas Jawadwipa” dibarengi dengan performa gerak oleh sejumlah penari dengan koreografer Ayu Permata (Yogyakarta), mewarnai peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul “Jawadwipa Kependhem”.

“‘Demi Sanjaya. Kita corat-coret zaman yang usang. Ditinggal kekasih dalam mimpi Jawadwipa makmur akan tambang emas. Jawadwipa kaya akan pangan beras. Ini yang disebut elegi atau ironi? Demi Sanjaya. Kita sembunyikan sadar dalam mata yang berkaca. Kita tak lebih dari pendoa dengan naluri yang iba. Terkubur terpendam dalam kemasyhuran Jawadwipa’,” begitu dua di antara 12 bait syair dibaca Widodo dengan lantang seakan merefleksikan nilai dalam tema “Pala Kependhem”.

Tentang apresiasi atas pembukaan festival di candi itu, diungkapkan oleh Ketua Kelompok Kerja Publikasi dan Pemanfaatan Cagar Budaya Balai Peninggalan Cagar Budaya Jawa Tengah Wahyu Kristanto.

“Mereka telah turut melestarikan cagar budaya ini. Pelestarian candi tidak hanya fisiknya, tetapi juga nilai-nilai di dalamnya melalui kegiatan kebudayaan ini,” ujarnya.

Pembukaan festival juga ditandai dengan pidato dari sejumlah tokoh, antara lain Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Magelang Edy Susanto, mantan Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko Laily Prihatiningtyas, pemuka warga Dusun Carikan Suhono, dan Direktur Borobudur Writers and Cultural Festival Yoke Darmawan.

Budayawan Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut berulang kali menegaskan tentang luar biasanya kandungan makna kehidupan bersama masyarakat yang terpendam di Candi Gunung Wukir dengan Prasasti Canggalnya.

Pelestarian atas nilai-nilai kebudayaan seperti halnya melalui situs cagar budaya Candi Gunung Wukir, ujarnya, menjadi persoalan penting seiring dengan kemajuan zaman.

“Ini situs (Candi Gunung Wukir, red.) yang luar biasa, bahkan dibangun sebelum Candi Borobudur (sekitar abad ke-8, red.) dan Candi Prambanan (sekitar abad ke-9, red.). Jadi, nenek moyang kita dahulu bekerja keras lalu makmur dahulu, dan kemudian membangun situs peradaban besar,” katanya.

Ia menyebut nenek moyang bangsa dengan otaknya yang cerdas dan masyarakat hidup makmur terlebih dahulu, ditunjukan melalui pembangunan Candi Gunung Wukir, lalu membangun Candi Borobudur yang agung itu.

“Komunitas Lima Gunung ingin mengajak siapa saja untuk belajar bersama, merawat peradaban cerdas. Ini situs luar biasa, otaknya Candi Borobudur dan Prambanan. Ada kecerdasan yang berjalan di dalam tanah, terpendam,” katanya.

Setiap generasi menerima dan merawat warisan dari leluhurnya yang cerdas dan setiap generasi pula seharusnya membuat warisan budaya yang cerdas untuk penerusnya.

Editor: M Hari Atmoko

COPYRIGHT © 2016

sumber : http://www.antarajateng.com/detail/persembahan-pala-kependhem-ke-candi-gunung-wukir.html#.V45U29MrO68.facebook