Stasiun Magelang Passar tempo doeloe [KITLV]
Kawasan Kedu Utara merupakan dataran yang berbukit-bukit. Membentang membatasi wilayah antara Magelang dan Ambarawa. Udara sejuk turun dari Gunung Andong dan Telomoyo. Kemudian terlihat “si ular besi” melintasi rel berjalan lurus. Asap hitam membumbung pekat di antara persawahan, tegalan dan perkebunan kopi. Kadang berjalan tertatih ketika melewati jalan menanjak antara Jambu menuju Bedono ataupun anatara Gemawang ke Bedono.Itulah sang kereta api.
Itulah yang mungkin diceritakan oleh orangtua, bahkan kakek-nenek kita yang mempunyai sepenggal kisah dengan indahnya perkeretaapian yang pernah ada di Magelang. Mungkin anak muda jaman sekarang hanya bisa menikmati indahnya sepenggal cerita manis di pagi hari yang menjadi kenangan saja, karena tidak pernah merasakannya bahkan melihatnya. Ini menjadikan harapan tersendiri bagi yang tidak merasakan masa yang indah itu.
Berawal dari nilai historis ilmu, rasa kangen, misteri, dan keingintahunan inilah komunitas Kota Toea Magelang pada hari Minggu, 9 Juni 2013 turut mengajak anda semua dalam agenda kegiatan yang bertemakan Kereta Api,
“DJELADJAH DJALOER SPOOR djoeroesan Setjang-Tjandi Oemboel”
Tujuan acara ini adalah bagaimana kita bisa lebih menghargai sejarah dan melestarikan cagar budaya yang mencakup fisik dan non fisik. Karena mengingat bahwa apabila tidak adanya perkembangan bergulirnya sejarah, kita tidak akan tahu tolok ukur untuk masa depan.
Pada tahun-tahun berikutnya sesudah di bangunnya jalur kereta api antara Samarang dan Tanggung di Grobogan, maka berturut-turut di bangunlah pula jalur-jalur KA yang baru di berbagai kota di tanah Jawa. Termasuk pembangunan jalur kereta api yang menghubungkan Magelang dengan kota-kota sekitarnya. Misalnya jalur Magelang-Secang yang beroperasi pada tanggal 15 Mei 1903, jalur Secang-Temanggung beroperasi 3 Januari 1907, jalur Secang-Ambarawa beroperasi 1 Februari 1905 dan jalur Temanggung-Parakan beroperasi 1 Juli 1907.
Proses pembangunan jalur KA antara Ambarawa-Secang, Magelang-Secang dan Secang-Temanggung-Parakan, tentunya tidak bisa melupakan jasa seorang aannemer/pemborong bernamaHo Tjong An. Ho Tjong An terlahir di Tungkwan, Canton Cina pada tahun 1841.
Berikut ini kami kutip dari majalah SINPO terbitan tahun 1919 yang menceritakan tentang sosok Ho Tjong An tersebut:
“Begitoe pakerdjahan itu selese, toean Ho soeda borong poela pakerdjahan memboeka djalanan kreta api antara Willem I-Setjang, Magelang-Setjang dan Setjang-Parakan. Grondverzet antara Setjang-Parakan ada 143.000 M3”.
“Grondverzet jang ia mesti bikin antara Ambarawa-Setjang, toean Ho Tjong An trima boeat harga f 390.000,- kerna boekan sedikit djoerang jang mesti di potong agar tida kliwat menandjak. Koeli jang di pake setiap harinja tida koerang dari 3000 orang.
Kamoedian pakerdjahan ini ia samboeng boeat boeka tanah jang hoeboengkan antara Magelang-Setjang dan Setjang – Parakan, jang ia borong boet harga f 350.000,-.
(“Satoe aannemer kreta api Tionghoa”, majalah Sinpo tahun 1919)
Dalam tulisan tersebut di tuliskan bahwa pengerjaan jalur KA antara Ambarawa-Secang menghabiskan beaya sebesar f 390.000,- (Guilders Belanda). Dan jalur antara Magelang-Secang dan Secang-Parakan menghabiskan beaya sebesar f 350.000,- (Guilders Belanda). Jumlah yang sangat besar diwaktu itu.
Dan di tahun ini sudah lebih dari 100 tahun perkeretaapian ini ada, meski kini hanya tinggal bekas-bekas peninggalan sejarahnya saja.
Untuk menikmati acara event “DJELADJAH DJALOER SPOOR djoeroesan Setjang-Tjandi Oemboel” tempo hari, ini dia liputannya :
Perserta berfoto bersama sebelum start di Taman Badaan.
Pukul 8.15 pagi, di Taman Badakan Magelang, lengkap sudah peserta yang didominasi dari Magelang, dan sebagian berasal dari Jogja, Solo, hingga Semarang. Setelah briefing dan penjelasan rute oleh mas Bagus Priyana – Koordinator KTM, kami yang berjumlah 37 orang bersiap mengadakan doa pemberangkatan yang dipimpin oleh Pak Budiman – yang datang dari Jogja bersama puteranya dan kebetulan merupakan peserta yang dituakan.
“Stasiun ini pada jamannya merupakan stasiun penting, karena merupakan pertemuan antara jalur Ambarawa – Magelang dan – Temanggung Parakan. Bekas yang menunjukkannya adalah banyaknya ruas rel yang berjumlah lima sehingga dapat dipastikan pada masanya stasiun ini besar dan ramai. Bahkan stasiun Magelang Kota pun kalah ramai” Demikian penjelasan dari Bagus Priyana sesaat setelah kami mengamati bekas stasiun yang kini digunakan sebagai markas PEPABRI Cabang Secang ini.