GERAH melihat ulah Belanda dan gaya hidup ala Barat di Kesultanan Yogyakarta, Diponegoro menyingkir. Selain menggalang kekuatan, dia mempersiapkan kebutuhan logistik. Salah satunya dengan memborong persediaan beras di pasar-pasar di daerah Kedu dan Yogyakarta.
Karena menolak bertanggungjawab, Residen Yogyakarta Smissaert memerintahkan pasukannya menyerang dan membakar markas Diponegoro di Tegalrejo pada 21 Juli 1825. Tiga minggu kemudian, Diponegoro membalas dan menyerang Yogyakarta. Perang Jawa pun pecah.
Dalam kurun 1825-1826, unggul jumlah pasukan, Diponegoro mengandalkan taktik ofensif. Namun, setelah pertempuran di Gawok, strategi ini tak lagi dipertahankan.
Sebaliknya, karena jumlah pasukannya terbatas, Jenderal de Kock mengunggulkan strategi mobilitas melalui operasi pengejaran. Strategi ini berakibat fatal. Banyak prajuritnya tewas; bukan karena bertempur tapi kelelahan, sakit karena epidemi, cuaca buruk, dan medan yang berat.
Berdasarkan pengalaman tersebut pada 1827 Jenderal de Kock memperkenalkan strategi baru yang dikenal dengan Stelsel Benteng.
Dengan strategi ini, di setiap wilayah yang berhasil dikuasai, Belanda membangun benteng pertahanan; kemudian infrastruktur yang menghubungkan setiap benteng.
Stelsel Benteng merupakan kunci sukses de Kock melawan Diponegoro. Dari Mei 1827 sampai Maret 1830, de Kock membangun sekira 258 benteng di seluruh Jawa tengah dan timur, terbanyak (90 benteng) dibangun pada 1828.
Stelsel Benteng mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Perlahan moril pasukan turun. Karena itu banyak di antara pasukan Diponegoro yang terpaksa menyerah. Bahkan Sentot Alibasah, panglima pasukan Diponegoro, menyerah kepada Kolonel Cochius pada Oktober 1829.
Tatkala menerima laporan keberadaan Diponegoro dan sisa pasukannya di hutan Remojatinegara, de Kock mengambil keputusan yang tak pernah diperkirakan bawahannya. Dia memerintahkan Kolonel Cleerens untuk membujuk Diponegoro agar mau berunding. Jawaban ya dari Diponegoro sudah cukup bagi de Kock. Dengan satu kata ya, de Kock telah memenangi peperangan dan menaklukkan orang Jawa tanpa merendahkan martabatnya.
Perundingan berakhir dengan penangkapan Diponegoro pada 28 Maret 1830 di Magelang. Dia diasingkan ke Manado selama tiga tahun, lalu ke Makassar sampai kematiannya pada 8 Januari 1855.
Anda ingin tahu lebih lanjut tentang perjuangan Pangeran Diponegoro ?
Ayo ikuti acara persembahan dari Komunitas KOTA TOEA MAGELANG, bekerja sama dengan Kantor PERPUSTAKAAN, ARSIP & DOKUMENTASI KOTA MAGELANG, dalam:
#Acara
– Nama Acara : Bedah Boekoe ” TAKDIR : RIWAYAT PANGERAN DIPONEGORO”
#Narasumber
– Narasumber : Peter Carey [sejarawan]
#PADA
– Waktu : Minggu 5 Juli 2015
– Pukul : 15.00 – 18.00 WIB
– Tempat : Gedung Kyai Sepanjang, Lantai 2
Jl. Kartini No. 4 Kota Magelang [250 meter sebelah barat Aloon-aloon Kota Magelang]
#KONTRIBUSI
– Kontribusi : Rp 15.000,-
– Fasilitas : makan & minum
#PENDAFTARAN / #INFO
– Cara Pendaftaran :
ketik TAKDIR DIPONEGORO [spasi] Nama Anda,
kirim ke 0878 32 6262 69
– Pendaftaran paling lambat Sabtu 4 Juli 2015 jam 18.00 WIB
#NB :
1. Peserta mohon untuk datang tepat waktu dengan pakaian bebas, rapi dan sopan. Dan mohon untuk tidak memakai celana pendek.
2. Rundown acara sbb :
– jam 14.30 – 15.30 wib : daftar ulang peserta.
– jam 15.30 – 15.45 wib : pembukaan dan penyerahan kenang-kenangan.
– jam 15.45 – 17.15 wib : BEDAH BOEKOE berjudul “Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro” bersama Peter Carey (sejarawan).
– jam 17.15 wib : Penutupan.
– jam 17.30 wib : Persiapan buka puasa bersama.
3. Buku “Takdir : Riwayat Pangeran Diponegoro” di jual juga di lokasi acara seharga Rp 60.000,-
4. SAVE HERITAGE AND HISTORY IN MAGELANG