Peninggalan Belanda Ini Masih jadi Penyedia Air Bersih bagi Warga

Standard

 

Menara air atau watertoren Magelang, selesai dibangun 1920, dan masih kokoh hingga kini serta masih berfungsi.Foto: Nuswantoro

Berdiri kokoh, tepat di pojok Barat Laut Alun-alun Magelang, menara air peninggalan Pemerintah kolonial Belanda itu masih berfungsi melayani kebutuhan air bersih warga.

Kala membandingkan dengan bangunan lain di sekitar, menara air ini unik dan mudah dikenali. Bangunan inipun menjadi penanda Kota Magelang. Ia juga menggambarkan upaya Pemerintah Belanda menyediakan air bersih untuk warga.

Bagus Priyana, pendiri Komoenitas Petjinta dan Pelestari Bangoenan Toea (Kota Toea) Magelang menjelaskan alasan pendirian bangunan ini. Pembangunan menara air (bahasa Belanda: watertoren) pada 1920 didasari desakan kebutuhan air bersih higienis dan kontinyu.

“Orang Belanda ingin sistem distribusi air bersih sehat dan tidak tergantung musim. Mereka dikenal disiplin, teratur, suka kebersihan. Dibuatlah watertoren. Namun akhirnya bukan hanya untuk orang Belanda, juga warga lain,” katanya kepada Mongabay, di pengujung Desember.

Sebelum ada menara, kebutuhan air warga dari sumur dan belik, sebutan kolam penampung air dari mata air. Seiring pembangunan kompleks militer, rumah sakit, dan perumahan kala itu, pasokan air bersih menjadi penting.

Arsitek kenamaan Belanda Herman Thomas Karsten, yang merancang pembangunan menara ini. Pembangunan memakan waktu empat tahun (1916-1920), cukup lama untuk ukuran bangunan serupa masa kini.

“Bisa dikatakan struktur bangunan sangat sempurna. Dilihat dari berbagai sudut sama bentuk, segi enam belas,” katanya.

Menara itu mulai beroperasi melayani warga Magelang sejak 2 Mei 1920. Air bersumber dari Kalegen dan Wulung berjarak sekitar 7-8 km dari alun-alun, di bawah Lereng Gunung Sumbing, di Bandongan.

Keterangan di badan bangunan menyebut ada sumber air baru dari Kalimas, mulai dialirkan 26 Februari 1983, 63 tahun setelah bangunan berdiri.

“Menara air untuk menampung air dan membuang udara dari mata air Kalegen dan Wulung. Yang di Bandongan bentuk kotak, ada ruang penjaga. Fungsinya juga menyimpan air dan membuang udara.”

Air kurang lebih 1,750 juta liter di bak penampung itu disalurkan ke pipa primer dan sekunder. Pipa primer untuk warga kota yang mendiami rumah di jalan-jalan utama pusat kota, yaitu Jalan Bayeman atau Tentara Pelajar– kala itu permukiman orang Eropa–, Jalan A Yani (Poncol), Jalan Pahlawan, dan kawasan Pecinan.

“Pipa sekunder ke kampung-kampung. Sayangnya, tidak semua bisa terlayani. Bisa dimaklumi karena suplai air saat itu terbatas, sistem pipa, kemampuan masyarakat juga terbatas dan masih banyak mengandalkan sumur. Dalam kotapun belum semua terlayani,” katanya.

Secara fisik, ketinggian menara air dari tanah 26,1 meter, dengan luas 526 meter persegi. Sebanyak 32 tiang menyangga kuat di sekeliling menara. Struktur bagian tengah berdiameter tiga meter, berfungsi sebagai tempat dua pipa yang mengalirkan air dari sumber. Juga terdapat tangga ke atas terbuat dari semen dilanjutkan besi.
Siap Minum. Ada fasilitas air minum gratis berbahasa Belanda. Klaar Om Kraan Water Te Drinken. Foto: Nuswantoro

Kantor pelayanan

Di bagian bawah ada 16 ruang. Satu bagian pintu masuk, dan 15 ruang lain dengan berbagai fungsi. Ada ruang manometer (alat pengukur tekanan air). Ada tiga manometer terpasang, ketiganya masih berfungsi. Dulu, pemerintah Belanda, memakai ruangan lain untuk pelayanan pelanggan, dan tempat jaga. Kantor Waterleideng menjadi satu dengan Kantor Pemerintahan Belanda di Balai Kota. Hingga kini, bangunan berfungsi baik, hanya ruangan beralih fungsi, antara lain menjadi gudang.

Sebagai pegiat pelestari bangunan bersejarah, Bagus menyayangkan perhatian pemerintah kota terhadap menara air dinilai kurang.

“Seharusnya pemerintah membuat papan informasi, atau menyediakan informasi cukup tentang obyek sejarah. Bangunan ini punyai nilai sejarah, sebagai cagar budaya, dan sarana penyedia air minum yang masih digunakan hingga kini,” katanya.

Informasi cukup berguna menepis pandangan keliru tentang obyek bersejarah. “Kalau akhirnya masyarakat menganggap watertoren itu kompor raksasa, ya tidak bisa disalahkan.”

Pada sisi selatan terdapat fasilitas air ledeng siap minum. Bahkan dibumbui keterangan berbahasa Belanda “Klaar Om Kraan Water Te Drinken.” Saat saya mencoba ternyata air tidak mengalir. Keinginan mencicipi air siap minumpun gagal.

Menurut Bagus, fasilitas tambahan itu bagian seremoni. dibangun sekitar dua tahun lalu, berfungsi hanya satu minggu. Kini, pengelolaan menara air menjadi tanggung jawab PDAM Magelang.

Saya berusaha meminta keterangan terkait menara air kepada Direktur PDAM Magelang, Heri Wibowo, baik datang ke kantor di Jalan Veteran, Magelang maupun melalui telepon. Namun, sampai naskah ini ditulis dia belum bisa dimintai keterangan dengan berbagai alasan.

Kebijakan prolingkungan pemerintah Belanda

Tak hanya menara air, pemerintah Belanda juga membangun saluran irigasi. Dua cukup fenomenal adalah Kalibening dan Kalimanggis. Keduanya berbentuk kanal atau kali buatan.

“Sumber air Kalibening dari mata air, sedang Kalimanggis dari Sungai Progo dan Sungai Elo. Fungsi keduanya irigasi pertanian.”

Banyak dikisahkan, Kalibening mengalir sekitar 15 km, zaman dulu air bening. Masyarakat memanfaatkan untuk mandi dan mencuci. Sayangnya, kini berubah. Banyak sampah, dan air tidak bening lagi bahkan debit berkurang jauh.

Pembangunan Kalimanggis untuk mengairi tanah pertanian di sisi selatan di Mertoyudan, Mungkid. Sebelumnya kawasan ini kering dengan kontur tanah datar. Bendunganpun dibuat dengan cara membendung Sungai Elo di Gunung Saren, sekitar satu km sebelah timur Secang.

“Ini karena Sungai Elo di Secang posisi lebing tinggi dari Magelang, jadi bisa mengalir ke kota. Dibuat sekitar tahun 1850-an. Ada kendala, debit air tak mencukupi dibandingkan luas lahan pertanian yang menjadi target irigasi,” kata Bagus.

Pemerintah Belanda akhirnya memutuskan membuat saluran air baru dari Sungai Progo. Meski harus membendung di Temanggung, dan melintasi empat sungai kecil hingga membuat saluran air di atas sungai.

Belanda juga membangun taman-taman kota. Salah satu Taman Badakan, terletak di tengah-tengah kawasan militer dan permukiman penduduk, di Jalan Pahlawan. Wujud mirip ruang terbuka hijau era kini. Ada pohon-pohon perindang, bangku taman, dan area bermain anak. Belanda pada 1937-1938, membuat permukiman sehat di Kwarasan. Pembangunan ini didahului wabah pes yang melanda Magelang.

“Belanda membangun rumah berbagai tipe. Besar, sedang, dan kecil. Ada lapangan juga. Jarak antara rumah satu dengan lain lebar. Jadi cukup mendapat suplai sinar matahari, air, dan udara,” katanya.

Tanaman keras pun ditanam sebagai perindang di pinggir jalan. Ada asem Jawa, asem Belanda, kenari, sampai beringin. Sayangnya, kata Bagus, yang masih tersisa asem Jawa. Pohon-pohon ini bisa ditemukan di Jalan A Yani, depan tangsi militer, Jalan Veteran, dan Jalan Kartini. Kenari sudah habis, tinggal di Kompleks Karesidenan.

“Selain peneduh, pohon-pohon itu dikenal kuat, berumur panjang, dan mampu mengurangi debu. Apalagi dulu jalan belum semulus sekarang.”

Ada banyak menara air dibangun pemerintah Belanda di Indonesia, misal, di Yogyakarta, Solo, Semarang, atau Grobogan. Bagi Bagus yang gemar pula bersepeda kuno ini, menara air Magelang memiliki keunikan tersendiri.

“Bentuk indah, proporsional, dan gagah. Semua karakter ini menjadikan watertoren Magelang layak menjadi ikon kota. Terlebih tidak semua kota punya ikon di tengah kota. Apalagi bangunan itu masih berfungsi hingga kini.”
Watertoren. Foto awal-awal berdiri menara air Magelang: Foto: koleksi Bagus Priyana

[oleh : Nuswantoro, Magelang]

sumber : http://www.mongabay.co.id/2016/01/05/peninggalan-belanda-ini-masih-jadi-penyedia-air-bersih-bagi-warga/

About komunitaskotatoeamagelang

Komunitas ini merupakan kumpulan sekelompok masyarakat yang peduli keberadaan peninggalan sejarah yang ada di wilayah Magelang dan Sekitarnya. Nilai sejarah dan arsitektur yang menyimpan nilai luhur merupakan sesuatu yang bukan hanya dikenal namun tetap perlu dilestarikan... Semangat inilah yang akan terus dipunyai oleh komunitas ini

2 responses »

  1. Thanks buat info dan artikel nya.
    Saya sangat suka dengan sejarah kota magelang, dan cukup ‘wah’ juga karena watertoren ini masih berfungsi sampai sekarang.

    Usul saya sih sebaiknya, menara air ini lebih dikenalkan kepada generasi muda khususnya SD dan SMP,
    dari pihak pemkot sendiri harusnya mengemas secara cantik peninggalan bersejarah seperti contoh nya menara air , atau kantor KR di poncol.

    Jika di luar negri banyak peninggalan sejarah yang bisa dijadikan sumber ilmu pengetahuan bahkan cukup menguntungkan dari sisi komersial, mengapa kita tidak mengelola dan melestarikan itu?

    Sukur2 magelang bisa jadi tujuan wisata baik turis dalam negri maupun luar negri, karena kaya akan heritage nya.

    Dengan adanya support dari pemerintah, sangat mungkin menjadikan magelang ini sebagai kota wisata budaya seperti Yogyakarta.

    Hal ini tentunya akan membuahkan hasil yang berkesinambungan, bahkan dari sisi kuliner pun nantinya juga akan lebih ‘ramai; dan kota magelang menjadi kota yang lebih hidup , ngga seperti sekarang, jam 9 sudah sepi hehehehehe

    kira-kira bisa ngga yaaa??

    • terima kasih atas sarannya. Pelestarian bangunan tua yang bernilai sejarah adalah tanggungjawab kita bersama khususnya pemerintah kota magelang selaku pemangku kebijakan. Pemilik dan pengelola bangunan juga memiliki tanggung jawab. maka kami selalu getol agar pemerintah dan pemilik/pengelola bangunan2 tsb berkomitmen terhadap kelestariannya. Apalagi sudah ada Undang2 Cagar budaya dan perda cagar budaya. Meski demikian tetap saja kita kecolongan dengan dibongkarnya bangunan2 tsb.

Leave a reply to komunitaskotatoeamagelang Cancel reply